Sukses

Tere Liye Keluhkan Pajak Penulis, Begini Penjelasan DJP

Ditjen Pajak menyatakan perlakuan pajak bagi penulis terbagi dua, yakni melakukan pembukuan dan pencatatan.

Liputan6.com, Jakarta - Keluhan pajak "selangit" yang sempat dituangkan penulis buku, Tere Liye, dalam akun media sosialnya dianggap salah persepsi oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Penulis memiliki dua pilihan skema untuk melapor dan membayar pajaknya.

Dalam akun Facebooknya, Tere Liye mencontohkan pengenaan pajak progresif atas royalti yang diterima penulis buku. Jika royalti penulis Rp 1 miliar, maka dikalikan dengan layer atau lapisan penghasilan kena pajak, yakni Rp 50 juta pertama tarifnya 5 persen, Rp 50 juta-Rp 250 juta berikutnya tarifnya 15 persen, lantas Rp 250 juta-Rp 500 juta berikutnya tarifnya 25 persen. Dan Rp 500 juta-Rp 1 miliar berikutnya 30 persen.

"Jadi total pajak penulis buku Rp 245 juta. Karena menurut staf pajak, penghasilan itu semua dianggap super netto, tidak boleh dikurangkan dengan rasio Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN)," tulis Tere Liye.

Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Yunirwansyah menilai, Tere Liye kurang berkomunikasi dengan petugas pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar.

"Saya tidak tahu di lapangan seperti apa. Apakah dia (Tere Liye) pernah memberi tahu KPP ingin menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Rabu (13/9/2017).

"Kalau wajib pajak (WP) tidak memberi tahu kepada petugas pajak ingin melakukan pencatatan, maka kita anggap dia melakukan pembukuan. Mungkin Tere Liye kurang informasi atau kurang komunikasi di KPP terdaftar," Yunirwansyah menerangkan.

Ia menjelaskan, perlakuan pajak bagi penulis terbagi dua, yakni dapat melakukan pembukuan dan pencatatan. Melalui pembukuan, perhitungannya penghasilan netto = penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya (atas penghasilan). Dari penghasilan netto itu, dikenakan tarif sesuai lapisan penghasilan kena pajak.

Yunirwansyah menambahkan, apabila seandainya tidak mampu menyelenggarakan pembukuan, dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) memberikan kesempatan untuk melakukan pencatatan dengan syarat penghasilan bruto setahun kurang dari Rp 4,8 miliar.

"Tapi syaratnya harus memberitahukannya ke Ditjen Pajak tiga bulan di tahun berjalan. Misalnya untuk tahun ini, batasnya sampai dengan Maret 2017. Beri tahukan ke Kepala Kantor Ditjen Pajak, saya tidak menyelenggarakan pembukuan, tapi pencatatan," papar Yunirwansyah.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

2 dari 2 halaman

Selanjutnya; Pelaporan Administrasi Pajak

Dalam pelaporan administrasi pajak menggunakan pencatatan, ia bilang, penghasilan netto dapat dihitung menggunakan NPPN. Norma ini disusun supaya memudahkan WP dalam pencatatan administrasi pajak, sehingga ke depan WP dapat menggunakan mekanisme pembukuan.

"Nah, norma untuk pengarang dan penulis buku menurut Peraturan Dirjen Pajak sebesar 50 persen. Itu macam-macam normanya, ada untuk dokter, pengacara, dan lainnya," ujar dia.

Yunirwansyah mengaku, perhitungan pajak bagi penulis sangat sederhana. "Tidak rumit perhitungannya. Mau pakai pencatatan atau pembukuan, itu pilihan WP. Tapi kan pencatatan dibatasi kalau omzetnya kurang dari Rp 4,8 miliar, dan boleh pakai pembukuan walaupun omzetnya segitu, tapi lebih dari Rp 4,8 miliar, wajib pembukuan," kata dia.

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi menegaskan bahwa penulis mendapatkan royalti sebesar 10 persen, dan pajak penulis ditetapkan sebesar Rp 15 persen.

"Pajak penulis 15 persen dari royalti bukan omzet bukunya dan dalam UU PPh Pasal 23, pajak itu bisa dikreditkan (sebagai pengurang). Jadi, dia (Tere Liye) salah persepsi," ujar Ken.

Ken mencontohkan, hasil penjualan buku seharga Rp 100 juta, penulis mendapatkan royalti 10 persen atau sebesar Rp 10 juta. Dari Rp 10 juta tersebut yang akan dikenakan pajak sebesar 15 persen, atau Rp 1,5 juta. Jadi, penulis bisa mendapatkan royalti utuh setelah dipotong pajak sebesar Rp 8,5 juta.

"Pajak 15 persen ini nanti dikreditkan lagi di Surat Pemberitahuan (SPT). Bisa diklaim, bisa lebih bayar. Jadi sebenarnya tidak memberatkan," kata Ken.