Liputan6.com, Jakarta - Rencana Bank Indonesia (BI) mengeluarkan aturan untuk mengenakan biaya top up (isi ulang) e-money pada akhir September 2017 ini menuai protes dari sejumlah kalangan. Salah satunya ditandai dengan munculnya petisi penolakan pada situs Change.org dengan judul "Tolak Wacana Isi Ulang e-Money".
Petisi tersebut ditujukan kepada Gubernur BI Agus Martowardojo, Presiden Joko Widodo, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Penandatangan petisi meminta pemerintah mengkaji ulang dan membatalkan rencana BI menerbitkan aturan yang membolehkan bank menarik biaya saat konsumen melakukan isi ulang uang elektronik.
Advertisement
Baca Juga
Tak hanya petisi penolakan, pengacara David Maruhum L. Tobing pun melaporkan BI ke Ombudsman RI. "Ini kami duga merupakan tindakan maladministrasi yang hanya menguntungkan satu pihak, dalam hal ini perbankan. Ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi konsumen," katanya berapi-api.
David dikenal merupakan pengacara yang kerap menyoal hak-hak konsumen. Tercatat, dia pernah memenangkan gugatan mengenai kenaikan tarif parkir yang tidak sesuai aturan. Ia juga menang saat menggugat sebuah maskapai penerbangan dalam kasus penundaan penerbangan.
Sama seperti David, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga mendesak BI untuk menolak usulan perbankan tersebut.
"Menjadi kontraproduktif jika BI justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya top up e-money. Secara filosofis apa yang dilakukan BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society," kata Tulus kepada Liputan6.com.
"Tidak fair jika konsumen diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan menggunakan e-money konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif," imbuh Tulus.
Namun, Gubernur BI Agus Martowardojo meminta masyarakat memahami bahwa menerbitkan uang elektronik tidaklah murah. Selain itu, bank juga memerlukan dana untuk mengembangkan infrastruktur uang elektronik, seperti pemasangan mesin pembaca (reader), electronic data capture (EDC), dan lainnya.
"Kami akan atur batas maksimum dan besarannya, biayanya tidak akan berlebihan membebani konsumen," Agus menjelaskan, Jumat pekan lalu.
Kalangan pelaku usaha jasa sistem pembayaran sendiri mengusulkan pengenaan biaya dibatasi di kisaran Rp 1.000-2.000 setiap kali isi ulang.
Berdasarkan data BI, terdapat 25 lembaga penerbit uang elektronik. Dari jumlah tersebut 11 merupakan bank dan sisanya merupakan lembaga nonbank.
Sampai dengan akhir Juli 2017, jumlah kartu uang elektronik yang beredar mencapai 69,45 juta. Sedangkan jumlah transaksi sepanjang Januari hingga Juli 2017 mencapai 416,9 miliar, dengan nilai mencapai Rp 5,9 triliun.
Jika diumpamakan, dengan 69,45 juta kartu itu, lalu setiap isi ulang bakal dikenakan biaya Rp 2.000, dan setiap kartu mengisi ulang satu bulan sekali, maka dana yang bisa dihimpun mencapai Rp 138,9 miliar per bulan.
Â
Infrastruktur Tak Murah
Kepala Departemen Komunikasi BI Agusman Zainal menjelaskan, ada beberapa pertimbangan BI dalam mengeluarkan aturan baru tersebut. Namun, ia belum bersedia memerincinya. "Yang jelas, dalam aturan baru ini BI akan selalu mengedepankan perlindungan konsumen," kata dia diplomatis saat diwawancarai jurnalis Liputan6.com.
Sementara itu, Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Santoso menerangkan untuk menerbitkan uang elektronik dibutuhkan biaya yang tak kecil. Oleh karena itu, biaya isi ulang dapat digunakan untuk pengembangan uang elektronik ke depan.
"Untuk memelihara peralatan dan berinvestasi uang elektronik tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya top up yang dibayar oleh nasabah saya pikir hanya untuk mengurangi beban yang sudah diinvestasikan bank," Santoso menjelaskan kepada Liputan6.com.
Ia menambahkan, selain biaya pemeliharaan dan investasi, bank juga harus mengedukasi dan menyosialisasikan penggunaannya kepada nasabah. "Jadi bisa dibayangkan bahwa investasinya butuh kesinambungan," kata dia.
Sebagai gambaran, biaya investasi untuk menerbitkan satu kartu kurang lebih sekitar US$ 2 atau mencapai Rp 26.600 (Rp 13.300 per dolar AS). Itu belum untuk investasi alat pembaca kartu, mesin ATM dan EDC untuk melakukan pengisian ulang dan juga jaringan.
Selain itu, bank juga harus mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan infrastruktur. Berdasarkan data BI, sejauh ini telah ada kurang lebih 455 ribu unit mesin pembaca kartu elektronik.
Santoso menyebutkan perseroan telah menerbitkan hampir 10 juta kartu, dengan rata-rata transaksi kartu Flazz mencapai sekitar 10 juta transaksi per bulan, dan jumlah volume transaksi tiap bulan mencapai Rp 50 miliar.
Direktur BRI Sis Apik Wijayanto menjelaskan, nilai keuntungan dari penerbitan uang elektronik tidaklah besar, sehingga sulit untuk mengembangkan produk ini. Bahkan, beberapa penerbit kemungkinan sulit mencapai titik impas atau break even point (BEP).
Harga pengadaan mesin EDC, misalnya, sekitar Rp 2,5-3 juta per unit. Itu masih harus ditambah biaya jaringan komunikasi tiap bulannya.
"Lalu ada biaya maintenance, ada biaya struk kertas yang harus dikeluarkan," Sis menjelaskan.Â
Saat ini, BRI sudah mengeluarkan 6,5 juta kartu uang elektronik. Namun, yang aktif dipakai kira-kira 40 persen.
Hal senada diungkapkan Direktur Digital Banking Bank DBS Indonesia, Leonardo Koesmanto. Membangun infrastruktur untuk mengembangkan uang elektronik membutuhkan biaya besar. Perbankan mengembangkan uang elektronik untuk mengikuti kebijakan pemerintah yang ingin mendorong gerakan nontunai, yang membawa banyak manfaat bagi masyarakat. "Misalkan untuk bayar tol agar lebih cepat pakai e-money."
Oleh karena itu, Leonardo menilai, adalah hal yang wajar bila ada pengenaan biaya isi ulang uang elektronik. "Pelaku usaha perlu biaya untuk investasi. Selain itu, untuk sarana dan prasarana."
Â
Advertisement
Di Negara Lain pun Dikenai Biaya
Ekonom BCA David Samual berpendapat argumen BI terkait pengenaan biaya top up uang elektronik memiliki basis. Sebab, selama ini perbankan-lah yang harus menanggung biaya maintenance e-money.Â
Sampai saat ini pengguna e-money memang masih terbatas, tidak lebih dari 30 persen nasabah yang memiliki rekening di perbankan. Namun, jika jumlah pengguna semakin banyak, akan semakin memberatkan perbankan.
"Selama ini di beberapa negara seperti di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat, biaya transaksi e-money dikenai ke pengguna, di sini saja yang belum," David menerangkan.
Salah satu negara yang bisa menjadi contoh dalam penerapan transaksi nontunai (cashless transactions) adalah Swedia. Negara Skandinavia ini menempati peringkat tertinggi dalam hal transaksi nontunai. Uang tunai yang beredar di negara ini hanya sebesar 1,7 persen dari PDB.
Sampai-sampai, banyak kantor cabang bank di Swedia sudah tidak lagi mengurusi uang tunai. Bahkan, orang hanya tinggal mengangkat ponselnya apabila ingin menyumbangkan uang.
Laporan terbaru menunjukkan, empat dari lima transaksi pembelian di Swedia dilakukan secara elektronik. Tercatat, dalam satu tahun setiap orang di Swedia melakukan 260 kali pembayaran dengan sistem transaksi elektronik. Pedagang kaki lima di jalanan saja sudah menerima transaksi pembayaran menggunakan kartu.
Meski demikian, mengadopsi transaksi nontunai bukan tanpa efek samping. Dikutip dari Bloomberg, banyak orang tua yang masih kesulitan melakukan pembayaran secara online. Semakin tinggi juga muncul kekhawatiran di masyarakat akan risiko terkena serangan siber.
Laporan Marketeer menyebutkan, setidaknya ada tiga hambatan implementasi transaksi nontunai di Indonesia. Pertama, soal model bisnis yang belum menguntungkan pelaku industri uang elektronik. Kedua, belum adanya standarisasi. Hal ini menyebabkan sulitnya terwujud interoperability antar penerbit uang elektronik. Ketiga, mahalnya biaya edukasi, sosialisasi, dan pengembangan teknis.
Karena itulah, laporan itu menyimpulkan, diperlukan adanya dukungan regulator dalam membentuk skema insentif (pricing incentives), agar masyarakat bisa beralih menggunakan e-payment ketimbang pembayaran tunai. (kd)