Liputan6.com, Jakarta - Rencana Bank Indonesia (BI) menyosialisasikan penggunaan uang elektronik (berupa kartu) di kalangan masyarakat melalui program Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) seharusnya dilakukan tanpa menolak penggunaan uang tunai.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menyatakan, masyarakat tetap harus diberi kesempatan menggunakan uang tunai rupiah dalam melakukan transaksi apapun di wilayah Republik Indonesia.
"Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menegaskan adanya larangan menolak pembayaran dengan mata uang rupiah. Sedangkan yang dimaksud dengan mata uang rupiah dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang tersebut adalah uang kertas dan uang logam. Pelaksanan program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) melalui pemanfataan uang elektronik (kartu) juga harus memperhatikan kepentingan konsumen dan tidak memberatkan masyarakat," ujar Arif, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (20/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Ia menuturkan, rencana kalangan perbankan yang akan mengenakan tarif ketika konsumen hendak mengisi ulang (top up) kartu uang elektroniknya dinilai sebagai rente semata dan hanya menjadi pungutan yang tidak memiliki alasan rasional.
Arif mengatakan, bank tidak perlu mengenakan pungutan top up. Hal itu mengingat perbankan sudah mendapat keuntungan dari menjual kartu uang elektronik. Apalagi harga kartu yang dijual jauh lebih mahal ketimbang nilai uang yang pertama kali terdapat dalam kartu tersebut.
Selain itu, pengguna kartu elektronik umumnya adalah nasabah tabungan perbankan yang sudah dikutip biaya adminitrasi tabungan setiap bulannya.
Arif menilai, bank mendapatkan manfaat besar dari nasabah uang elektronik yang sudah menitipkan uang di muka tanpa ada biaya bunga bagi perbankan.
"Bank mendapat manfaat besar dari nasabah uang elektronik berupa tambahan likuiditas mengingat nilai saldo dalam kartu elektronik tidak bisa diuangkan dan amat jarang nasabah kartu elektronik menggunakan seluruh saldo dalam kartunya hingga senilai Rp 0. Tidak ada nilai tambah apa pun bagi konsumen ketika membayar pungutan top up kartu yang elektronik," kata dia.
Arif menegaskan, pungutan biaya top up berlawanan dengan upaya mengurangi penggunaan uang tunai di masyarakat.
"Justru Bank Indonesia seharusnya bisa memberikan insentif penggunaan uang elektronik, bukan malah membebani konsumen dengan biaya. Atas pemikiran tersebut, Bank Indonesia diimbau untuk segera menerbitkan aturan yang melarang perbankan melakukan pungutan ketika konsumen hendak mengisi ulang (top up) kartu uang elektroniknya," kata Arif.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
BI akan Seragamkan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Beda Bank
Bank Indonesia memastikan akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai penerapan biaya top up atau isi ulang uang elektronik. Untuk sementara, aturan tersebut hanya akan mengatur mengenai tarif top up beda bank.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengungkapkan, aturan itu dikeluarkan karena selama ini banyak pihak ketiga atau bank lain yang mengenakan tarif top up e-money yang berbeda-beda.
"Selama ini banyak yang mengenakan tarif. Mulai ada yang Rp 2 ribu, ada yang Rp 4 ribu, dan ada juga yang Rp 6 ribu. Jadi untuk sementara kita akan atur yang ini dulu, jadi kita seragamkan," kata Agus di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta, Selasa, 19 September 2017.
Dikatakan Agus, Bank Indonesia secara tegas tetap mengutamakan perlindungan konsumen. Namun di sisi lain, pihaknya juga mencegah adanya biaya top up yang berlebihan yang dilakukan pihak-pihak penyedia jasa.
Meski diatur, Agus mengaku tetap membatasi jumlah top up dengan nominal tertentu yang hanya akan dikenai biaya.
Selama ini, mayoritas pengguna e-money melakukan top up dengan nominal Rp 200 ribu. Jumlah ini nantinya juga akan menjadi pertimbangan BI dalam menentukan batasan top up berapa saja yang akan dikenakan top up.
"Jadi bisa saja nanti yang top up di bawah Rp 200 ribu yang tidak dikenai biaya. Tapi kalau di atas itu, boleh berbiaya, tapi biaya itu seragam," ujar Agus.
Advertisement