Sukses

Pemerintah Tambah Utang Rp 276 Triliun Selama 8 Bulan

Total outstanding utang pemerintah pusat naik Rp 45,81 triliun menjadi Rp 3.825,79 triliun sampai dengan Agustus 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Total outstanding utang pemerintah pusat naik Rp 45,81 triliun menjadi Rp 3.825,79 triliun sampai dengan Agustus 2017 dibanding posisi Juli sebelumnya. Sepanjang Januari-Agustus ini, pemerintah telah menambah utang sebesar Rp 276,62 triliun.

Dikutip dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (25/9/2017), total utang pemerintah Indonesia hingga Agustus ini mencapai Rp 3.825,79 triliun atau naik Rp 45,81 triliun dari realisasi Juli 2017 yang sebesar Rp 3.779,98 triliun.

Penambahan utang neto Rp 45,81 triliun selama sebulan, berasal dari penarikan pinjaman sebesar Rp 2,87 triliun (neto) dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 42,94 triliun (neto).

Tambahan pembiayaan utang tersebut memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial.

Sedangkan dibanding posisi utang pemerintah di Januari 2017 yang sebesar Rp 3.549,17 triliun, maka ada penambahan utang secara neto sebesar Rp 276,62 triliun sampai dengan bulan kedelapan ini.

Hingga akhir Agustus 2017, utang pemerintah pusat senilai Rp 3.825,79 triliun, terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp 2.563,24 triliun (67,0 persen), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias sukuk sebesar Rp 524,71 triliun (13,7 persen), dan pinjaman sebesar Rp 737,85 triliun (19,3 persen).

Direktur Jenderal PPR, Kemenkeu, Robert Pakpahan mengatakan, utang ini digunakan untuk belanja produktif, seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, jaminan sosial, dan kegiatan produktif lainnya. Utang merupakan sumber pembiayaan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk di 2017.

"Utang kita pakai untuk kegiatan produktif, bisa dilihat di APBN dari sisi pengeluaran, 20 persen untuk pendidikan, 18 persen infrastruktur, sebesar 5 persen untuk anggaran kesehatan, jaminan sosial, dan lainnya. Kalau tidak ada utang, berarti di drop pengeluarannya, anggaran perlindungan sosial bisa enggak jadi," jelasnya kepada Liputan6.com.

Utang senilai Rp 3.825,79 triliun tersebut didominasi oleh utang dalam mata uang Rupiah (59 persen). Sementara itu, utang dalam mata uang asing, terdiri dari Dolar AS (29 persen), Yen Jepang (7 persen), dan Euro (4 persen), Special Drawing Right (1 persen), dan beberapa valuta asing lain (1 persen).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Pemberi utang

Berdasarkan krediturnya, utang pemerintah pusat didominasi oleh investor SBN (80 persen), kemudian pinjaman dari Bank Dunia (6 persen), Jepang (5 persen), Asian Development Bank (3 persen), dan lembaga lainnya (6 persen).

Indikator risiko utang pada Agustus 2017 masih terkendali, dengan rasio variable rate berada pada level 10,9 persen dan refixing rate pada level 19,0 persen. Porsi utang dalam mata uang asing berada pada level 41,2 persen, sedangkan average time to maturity (ATM) berada pada level 8,8 tahun.

Di sisi lain, indikator jatuh tempo utang dengan tenor hingga 5 tahun naik dari 38,9 persen menjadi 39,2 persen dari total outstanding utang. Dalam pengelolaan risiko utang, pemerintah senantiasa melakukannya dengan hati-hati dan terukur, termasuk juga menjaga risiko pembiayaan kembali, risiko tingkat bunga, dan risiko nilai tukar dalam posisi yang terkendali.

Pemerintah menargetkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 28,1 persen sampai dengan akhir tahun ini. Target
tersebut lebih rendah dari capaian tahun lalu yang sebesar 28,3 persen dari PDB.

"Jadi melihatnya selama setahun. Itu kan (kenaikan utang) masalah timing saja. Ada utang baru, tapi ada juga utang yang dibayar. Kita akan tetap menjalankan amanat Undang-undang (UU), menjaga defisit di bawah 3 persen dari PDB," tegas Robert.