Sukses

Ini Risiko RI Beli Alat Tempur Pakai Utang

Rencana pengadaan dari utang itu memiliki risiko bagi fiskal yang harus diantisipasi pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari pinjaman dalam maupun luar negeri untuk di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Rencana pengadaan dari utang itu memiliki risiko bagi fiskal yang harus diantisipasi pemerintah.

"Kalau sebagian besar diambil dari pinjaman luar negeri (beli alutsista), ada risiko ketika mau membayar, dan lainnya. Ini yang harus dijaga, jangan sampai mengganggu APBN," kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (26/9/2017).

Eko berpendapat, pengadaan alutsista yang berasal dari utang luar negeri rawan dengan risiko nilai tukar (kurs). Potensi terjadinya gejolak kurs ini diakuinya semakin besar, lantaran ada peluang The Fed menaikkan suku bunga acuan, uji coba bom nuklir oleh Korea Utara yang diprediksi akan menggoyang perekonomian global maupun stabilitas kurs rupiah.

"Kalau (rupiah) kurang stabil, maka membuat risiko pembayarannya membesar. Ini yang harus diantisipasi pemerintah," Eko menegaskan.

Dia mengingatkan kepada pemerintah untuk berutang secara terukur, apalagi untuk pembelian alutsista oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Dengan demikian, APBN tetap sehat yang dilihat dari level defisit terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terkendali.

"Kalaupun harus utang, tapi yang terukur, dibatasi. Kalau tidak, defisit bakal membengkak karena pemerintah Joko Widodo (Jokowi) secara masif juga ingin membangun infrastruktur secara besar-besaran," terangnya.

Menurut Eko, penting bagi pemerintah untuk mengatur skema pembayaran utang pembelian alutsista sehingga tidak menimbulkan gejolak terhadap permintaan mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Dan pada akhirnya, nilai tukar rupiah terseret ke bawah.

"Kalau pesannya ke luar negeri, kan harus dibayar dengan mata uang dolar AS. Jadi cara mainten-nya supaya tidak banyak gejolak, pembayaran dilakukan bertahap dan bisa dikomunikasikan dengan pihak Bank Indonesia (BI) jadwal pembayarannya. Jangan tergesa-gesa, borong dolar AS di pasar dan akhirnya rupiah melemah," jelas Eko.

"Jadi ada jadwalnya kapan pemerintah mau bayar sehingga BI tahu akan ada permintaan dolar tinggi di bulan-bulan tertentu untuk bayar pembelian alutsista. Mekanisme moneter ini dimungkinkan supaya tidak timbul gejolak," Eko mengatakan.

 

 

 

2 dari 2 halaman

Alokasi Utang

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengungkapkan, alokasi pinjaman (netto) di RAPBN 2018 sebesar negatif Rp 15,5 triliun di 2018. Terdiri dari pinjaman dalam negeri (netto) sebesar Rp 3,1 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar negatif Rp 18,6 triliun.

Jumlah untuk pinjaman luar negeri negatif Rp 18,6 triliun. Artinya, penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp 51,5 triliun, sementara pembayaran cicilan pokok utang Rp 70,1 triliun. Dari penarikan pinjaman Rp 51,5 triliun, terdiri dari pinjaman tunai Rp 13,5 triliun dan pinjaman kegiatan proyek Rp 38 triliun.

"Paling banyak pengguna pinjaman luar negeri adalah Kemenhan sebesar Rp 11,7 triliun untuk pembiayaan alutsista," kata Suahasil.

Selain Kemenhan, Polri merupakan salah satu pengguna pinjaman luar negeri terbanyak, sebesar Rp 3,3 triliun untuk pembelian alat material khusus (alumatsus), yakni helikopter, labfor Mabes Polri, peralatan Serse, serta Siskom di Indonesia bagian Timur di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara.

Suahasil menjelaskan, Kemenhan dan Polri pun mendapatkan jatah anggaran yang berasal dari pinjaman dalam negeri di RAPBN 2018 yang totalnya Rp 3,1 triliun. Berasal dari penarikan utang Rp 4,5 triliun, sedangkan pembayaran cicilan pokok pinjaman alokasinya Rp 1 triliun.

"Penarikan pinjaman dalam negeri Rp 4,5 triliun ini, terdiri dari Rp 3,5 triliun untuk Kemenhan dan Polri Rp 1 triliun untuk membiayai alutsista dan alumatsus yang diproduksi industri pertahanan dan keamanan dalam negeri," ujar dia.

"Pemberi pinjaman dalam negeri adalah bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)," dia menambahkan.

Suahasil lebih jauh menuturkan, Kemenhan dan Polri telah menyampaikan proyek strategis 2015-2019, terutama untuk membeli alutsista dari industri lokal yang akan dibiayai pada tahun depan.

Saat ini, ia menuturkan, daftar nama-nama kegiatan atau alutsista yang akan dibeli di tahun depan sedang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Dan akan masuk ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018.

"Kan alatnya dari luar dan dalam (dua pinjaman). Kalau beli dari luar kan biasanya mengeluarkan letter of credit (L/C) untuk kegiatan impornya. Tapi kalau dalam negeri, pembiayaannya dari bank lokal," terangnya.

"RKP ini nanti akan didalami di Panja Belanja untuk kebutuhan alutsista yang diperlukan oleh Kemenhan dan Polri," pungkas Suahasil.