Sukses

Sri Mulyani Ingatkan soal Utang PLN, Ini Kata Kementerian ESDM

Sri Mulyani mengingatkan dua menteri karena PLN berpotensi gagal bayar utang.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) masih melakukan konsolidasi dalam menanggapi surat yang dilayangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengenai‎ kekhawatiran atas kegagalan PT PLN (Persero) ‎membayar utang yang berisiko pada keuangan negara.

‎"Terkait surat tersebut, kami masih mengonsolidasikannya," kata ‎Kepala Biro Komunikasi, layanan informasi publik, dan kerja sama Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Terkait dengan kegiatan operasi, menurut Dadan, PLN telah mengendalikan parameter pertumbuhan penjualan listrik, volume penjualan, dan bauran energi.

"Target pada 2017 bahwa pangsa energi primer BBM pada pembangkit listrik sebesar 4,66 persen," kata Dadan.

Terkait dengan pernyataan dalam surat Menteri Keuangan‎ terkait penetapan tarif tenaga listrik (TTL) dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PLN.‎ Menurut Dadan, penetapan TTL berdasarkan komponen perhitungan Biaya Pokok Produksi Listrik (BPP) telah dirinci, mengacu Peraturan Menteri Keuangan No 44 Tahun 2017 dan diaudit oleh BPK.

"BPP ‎(allowable cost) dan non allowable cost (biaya yang tidak boleh dibebankan kepada konsumen melalui tarif)," ucapnya.

 

2 dari 2 halaman

Surat Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani melayangkan surat ke Menteri ‎Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Surat tersebut berisi kekhawatiran tentang kegagalan PT PLN (Persero) ‎membayar utang yang berisiko pada keuangan negara.

Seperti yang dikutip dari surat Menteri Keuangan bernomor‎ S-781/MK.08/2017, soal Perkembangan Risiko Keuangan Negara atas Penugasan Infrastruktur Ketenagalistrikan, Rabu (28/9/2017), Sri Mulyani menyampaikan lima poin penting yang harus diperhatikan Menteri Rini dan Menteri Jonan.

Pertama mengenai kinerja PLN ditinjau dari sisi keuangan terus mengalami penurunan, seiring dengan semakin besarnya kewajiban korporasi untuk memenuhi pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang‎ tidak didukung dengan pertumbuhan kas bersih operasi.

Hal ini menyebabkan dalam tiga tahun terakhir Kementerian Keuangan harus mengajukan permintaan walver pada lender PLN, sebagai dampak terlanggarnya kewajiban pemenuhan covenant PLN dalam perjanjian pinjaman, untuk menghindari cross default atas pinjaman PLN yang mendapatkan jaminan pemerintah.

Kedua, terbatasnya internal fund PLN untuk melakukan investasi, dalam melaksanakan penugasan pemerintah berdampak pada ketergantungan PLN dari pinjaman, baik melalui pinjaman kredit investasi perbankan, penerbitan obligasi, maupun pinjaman dari lembaga keuangan Internasional.

Ketiga, berdasarkan profil jatuh tempo pinjaman PLN, kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PLN diproyeksikan akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.

Sementara itu, pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai dengan target, adanya kewajiban pemerintah untuk meniadakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PLN.

Keempat, Sri Mulyani mengungkapkan, dengan mempertimbangkan bahwa sumber penerimaan utama PLN berasal dari TTL yang dibayarkan oleh pelangan dan subsidi listrik dari pemerintah, kebijakan peniadaan kenaikan TTL perlu didukung dengan adanya regulasi yang mendorong penurunan harga biaya produksi listrik.

"Selain itu, kami mengharapkan saudara dapat mendorong PLN untk melakukan efisiensi biaya operasi, terutama energi primer guna mengantisipasi peningkatan risiko gagal bayar di tahun-tahun mendatang," lanjut Sri Mulyani dalam poin keempat surat tersebut.

Kelima, terkait dengan penugasan program 35 GW, Sri Mulyani berpendapat perlu dilakukan penyesuaian terkait target investasi PLN dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PLN dalam memenuhi pendanaan investasi cashflow operasi, tingginya outlook debt maturity profile, serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan Penyertaan Modal Negara (PMN).

"Hal ini diperlukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PLN yang merupakan sumber risiko fiskal pemerintah," tutup Sri Mulyani.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, belum bisa memberikan banyak komentar mengenai hal tersebut. Dadan mengaku akan memeriksa ke direktorat terkait. "Nanti saya cek ya, seharusnya sudah," jelas dia.