Liputan6.com, Jakarta Indonesia harus menggenjot industri manufaktur untuk bisa menjadi negara yang maju. Sudah bukan saatnya lagi ekonomi Indonesia ‎bergantung pada ekspor komoditas alam.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, ketika Indonesia memasuki era booming industri manufaktur di sekitar tahun 1990-an, saat itu Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah.
Dia menjelaskan, pada periode 1990-1997 yaitu sebelum terjadinya krisis keuangan Asia, merupakan periode yang terbaik jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi. Pada periode tersebut rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 6 persen-7 persen.
Advertisement
Baca Juga
"Sampai saat ini hal itu belum bisa diulangi‎. Dan penggeraknya, meski saat itu minyak dan gas masih signifikan, tetapi industri pengolahan yang berjaya. Jadi momen untuk meningkatkan industri sudah ada," ujar dia di Kantor Pertamina Pusat, Jakarta, Jumat (29/9/2017).
‎Namun, ketika terjadi krisis dan diikuti dengan munculnya era komoditas (commodity booming), membuat semua orang melupakan sektor industri. Kala itu, lanjut Bambang, semua orang lebih tertarik untuk mencari cara mendapatkan hak konsesi atas tambang batu bara atau konsesi perkebunan sawit.
"Tapi kita lupa jika bukan itu yang membuat ekonomi kita tinggi, tetapi justru industri manufaktur,"Â tutur dia.
Kemudian, ketika era komoditas akhirnya meredup pada 2014, Indonesia baru tersadar telah melupakan pengembangan industri di dalam negeri. Padahal jika terus konsisten untuk memajukan industri sejak era 1990, saat ini Indonesia akan sudah bisa menjadi salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia.
"Dengan berakhirnya era komoditi atau commodity booming di 2014, kita semacam mendapatkan wakeup call. Mudah-mudahan ini bisa menjadi mengingatkan pemerintah bahwa Indonesia punya tugas untuk menjadi negara maju dan keluar dari middle income trap serta fokus menjadi negara industri," tandas dia.
Tonton Video Pilihan Berikut Ini:
Prediksi ADB
Asian Development Bank (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,1 persen pada tahun ini dan 5,3 persen di tahun depan. Proyeksi ini masih sejalan dengan perkirakan ADB pada April lalu.
Kepala Perwakilan ADB untuk Indonesia Winfried Wicklein mengatakan, perekonomian Indonesia masih kuat di tengah ketidakpastian global. "Ekonomi Indonesia tetap kuat terlepas dari ketidakpastian global, dengan pertumbuhan yang diharapkan akan baik pada tahun ini," kata dia dalam Asian Development Outlook (ADO) di Jakarta, Selasa (26/9/2017).
Dia menambahkan, pertumbuhan ekonomi akan ditopang oleh infrastruktur dan investasi swasta. Belanja pemerintah akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi di paruh kedua 2017.
Investasi swasta diperkirakan akan meningkat perlahan seiring dengan mulai terlihatnya dampak dari reformasi kebijakan guna memperbaiki iklim usaha. Hal itu ditambah dengan keputusan Standard & Poor’s yang menaikkan peringkat Indonesia ke investment grade. Hal ini diharapkan mempercepat arus modal masuk termasuk investasi langsung.
Bukan hanya itu, pertumbuhan kredit akan membaik secara bertahap. Hal ini menyusul pemangkasan suku bunga Bank Indonesia (BI).
Kebijakan fiskal masih tetap menopang pertumbuhan. Perubahan anggaran menghasilkan belanja total yang lebih tinggi, terutama dengan alokasi yang lebih besar bagi infrastruktur publik, kesehatan, dan pendidikan.
Dia menerangkan, meskipun pemerintah mengurangi subsidi energi dan berimbas pada kenaikan harga listrik, pengeluaran rumah tangga masih tetap kuat. Keyakinan konsumen masih baik berkat rupiah stabil, sehingga diharapkan inflasi lebih terkendali
Sektor perdagangan Indonesia belum dapat diandalkan, mengingat tidak meratanya tingkat pemulihan dan pertumbuhan mitra dagang Indonesia.
"Risiko terhadap proyeksi ini bergantung pada perkembangan upaya pemerintah dalam memobilisasi penerimaan pajak, harga komoditas global, dan ketidakpastian kebijakan di negara-negara maju," kata Winfried Wicklein.
Â
Advertisement