Sukses

ESDM Belum Terima Laporan BPK soal Ketidakpatuhan Freeport

BPK temukan ada ketidakpatuhan dalam membayar kewajiban ke negara, sehingga mengakibatkan hilangnya potensi PNBP sebesar ‎Rp 6,05 trili

Liputan6.com, Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyelesaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017. Dari proses tersebut ditemukan ketidakpatuhan PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam membayar kewajiban ke negara, sehingga mengakibatkan hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar ‎Rp 6,05 triliun.

Kepala Biro Kumunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, saat ini instansinya masih menelusuri hasil pemeriksaan BPK tersebut. 

"Kita masih menelusuri posisi laporan BPK-nya," kata Dadan, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Selasa (3/10/2017).

Menurut Dadan, berdasarkan informasi dari Biro Keuangan Kementerian ESDM dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, belum ada laporan dari BPK yang diterima.

"Saya sudah cek laporannya belum terima," ujar Dadan.

Kabar tersebut pun telah dikonfirmasi ke Juru Bicara Freeport Indonesia Riza Pratama. Dia enggan berkomentar ketika ‎ditanyakan kepatuhan Freeport dalam membayar kewajiban ke negara.

Simak video pilihan berikut ini:

 

 

2 dari 2 halaman

Laporan BPK

Sebelumnya, BPK menyusun Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017. IHPS tersebut memuat 687 laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK pada semester I 2017.

687 laporan itu terdiri atas 645 LHP Keuangan (94 persen), 9 LHP Kinerja (1 persen) dan 33 LHP dengan tujuan tertentu (DTT) sebesar 5 persen. Salah satu dari 33 LHP dengan tujuan tertentu yang signifikan, seperti dikutip dari IHPS I 2017, Selasa (3/10/2017) yaitu pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia.

Mengutip laman tersebut, pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) ini terjadi pada 2013-2015. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai kepatusan PTFI dalam hal penerimaan negara dan kepatuhan terhadap peraturan terkait dengan lingkungan hidup, serta menguji apakah perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham PTFI telah berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil pemeriksaaan menyimpulkan, pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai ketentuan berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

BPK menemukan beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pembayaran iuran tetap, royalti dan royalti tambahan oleh PTFI menggunakan tarif yang tercantum dalam kontrak karya, yang besarannya lebih rendah serta tidak disesuaikan dengan tarif berlaku saat ini.

Hal itu mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diterima periode 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta atau sekitar Rp 6,05 triliun (asumsi kurs Rp 13.575 per dolar Amerika Serikat).

Sebelumnya pemerintah sudah menetapkan besaran royalti, emas, perak dan tembaga tetap dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM. Peraturan Pemerintah itu merupakan revisi dari PP sebelumnya yakni PP Nomor 45 Tahun 2003.

Kedua, hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui dividen PT FI, dan hilangnya kesempatan pemerintah untuk berperan dalam pengambilan keputusan strategis manajemen PTFI. Ini karena sampai 2015, kepemilikan pemerintah Indonesia atas saham PTFI belum optimal, dan proses divestasi saham berlarut-larut.

Ketiga, pengelolaan limbah tailing PT Freeport Indonesia belum sesuai dengan peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia. Pembuangan limbahnya telah mencapai kawasan laut sehingga mengakibatkan perubahan ekosistem serta menimbulkan kerusakan dan kerugian lingkungan.

Atas hal ini, pemerintah telah mencapai kesepakatan final dengan PTFI antara lain mengenai divestasi saham PTFI sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional. Selain itu stabilitas penerimaan negara dibanding penerimaan melalui kontrak karya selama ini.‎