Liputan6.com, Jakarta Laporan Bank Dunia dalam Migrating to Oppurtunity menyebutkan, migrasi di kawasan ASEAN cukup pesat dalam periode 1995 hingga 2015. Tercatat, sebanyak 6,5 juta pekerja migran atau setara 96 persen pekerja tersebut tersebar di tiga negara yakni Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Berdasarkan laporan tersebut, sekitar US$ 62 miliar dalam bentuk remitansi terkirim ke negara-negara ASEAN pada 2015. Remitansi itu menyumbang 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) Filipina, 7 persen di Vietnam, 5 persen di Myanmar, dan 3 persen di Kamboja.
Baca Juga
Dalam laporan tersebut dijelaskan, pekerja migran berketrampilan rendah dan sering tidak memiliki dokumen resmi mencari peluang ekonomi terutama di sektor kontruksi, perkebunan, dan jasa rumah tangga. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sendiri telah memfasilitasi mobilitas pekerja dengan profresi keterampilan tinggi seperti dokter, perawat, dan arsitek. Jumlahnya hanya 5 persen di kawasan tersebut.
Advertisement
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Wilayah Asia Timur dan Pasifik Sudhir Shetty mengatakan, dengan kebijakan tepat kegiatan migrasi pekerja memberi dampak positif bagi negara pengirim maupun negara penerima.
"Dengan pilihan kebijakan yang tepat, negara-negara pengirim dapat memperoleh keuntungan ekonomi dari migrasi keluar, dan memberikan perlindungan kepada warga negaranya yang memilih untuk bermigrasi untuk pekerjaan," kata dia di Jakarta, Senin (9/10/2017).
Bagi negara penerima, dia mengatakan, kegiatan migrasi dapat mengisi kekurangan tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
"Di negara penerima, jika kebijakan migrasi sesuai dengan kebutuhan ekonomi, pekerja asing dapat mengisi kekurangan tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan yang tidak cocok dan lembaga yang tidak efektif akan mengakibatkan kawasan ini menghadapi kemungkinan kehilangan peluang untuk menarik keuntungan secara maksimal dari migrasi," jelas dia.
Lebih lanjut, secara umum, dia menuturkan, prosedur migrasi di ASEAN masih bersifat membatasi. Hambatan tersebut seperti proses rekrutmen yang mahal dan panjang, terbatasnya kuota pekerja asing yang dibolehkan suatu negara.
Kebijakan yang membatasi ini sebagian dipengaruhi persepsi bahwa masuknya pekerjan migran akan berdampak negatif pada negara penerima.