Liputan6.com, Jakarta Pupuk Indonesia Holding Companny (PIHC) menyatakan industri pupuk di Indonesia masih kalah saing jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya di dunia. Direktur Utama PIHC Aas Asikin mengungkapkan kurangnya daya saing itu dikarenakan harga gas untuk industri ini yang masih mahal.
"Kita itu dapat harga gas itu kisaran US$ 6 per MMBTU, sementara di negara lain itu harganya untuk indistri hanya US$1-3 per MMBTU, padahal biaya produksi itu 70 peersen dari harga gas," kata Aas saat berbincang dengan wartawan di Kementerian BUMN, Senin (16/10/2017).
Baca Juga
Di negara lain, harga gas ini turun seiring dengan turunnya harga minyak dunia. Berbeda dengan yang ada di Indonesia, harga minyak dunia sudah turun namun penurunan harga gas ini tidak seperti yang diharapkan.
Advertisement
Indonesia banyak yang sudah berumur sehingga pemakaian gas cenderung lebih boros. Sementara pesaing banyak yang memiliki pabrik baru dengan tingkat pemakaian gas yang lebih efisien.
"Di kita itu, pemakaian gas sekitar 30 MMBTU per ton. Umurnya sudah tua. Harga gas mahal, konsumsi gasnya cukup tinggi. Ini yang jadi permasalahan kita. Sedangkan di luar, sudah harga gasnya murah pabriknya juga baru," tuturnya.
Persaingan di industri pupuk dunia ini tambah diperketat dengan adanya over supply yang terjadi saat ini. Aas mengaku suply dunia saat ini 240 juta, sedangkan pemakaian dunia hanya 180 juta.
"Namun begitu kami terus berupaya melakukan efektifitas produksi dan mulai banting stir dengan memproduksi produk-produk turunan pupuk, jadi tidak fokus di urea terus," terangnya. (Yas)