Sukses

Menko Luhut: Negara Boleh Berutang Asal untuk Hal Produktif

Menko Luhut meminta masyarakat tidak khawatir dengan bertambahnya utang pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta masyarakat tidak khawatir akan utang pemerintah. Menurut dia, utang yang digunakan untuk hal yang produktif akan memberikan dampak yang lebih besar dari risiko utang tersebut.

Luhut mengatakan, jika bicara utang, saat ini rasio utang terhadap GDP masih sebesar 27,5 persen. Angka ini masih kecil jika dibanding negara-negara lain, bahkan negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat.

"Kita bicara utang, utang itu dua, pertama kita masih 27,5 persen dibandingkan GDP, itu kita bisa sampai 60 persen. Utangnya Jepang paling tinggi, Amerika dan sebagainya," ujar dia di Auditorium Mutiara PTIK, Jakarta, Jumat (20/10/2017).

Oleh sebab itu, Luhut mengaku heran jika ada pihak-pihak yang mempermasalahkan utang pemerintah. Sebab, lanjut dia, jika utang tersebut digunakan untuk hal-hal yang produktif, maka tidak harusnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

"Jadi saya bingung kenapa orang ribut utang. Asal utang yang produktif, bangun jalan, bangun listrik, bangun air, yang punya return. Tapi kalau utang untuk bayar bunga, itu jadi masalah," kata dia.

Luhut menyatakan, harusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan akan utang Indonesia. Sebab dirinya yakin, pemerintah, khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, telah menjaga rasio utang ini dengan baik.

"Pajak penerimaan kita masih bagus. Jadi kalau orang bilang merah, merah dari mana. Saya bicara data. Saya tanya orang pintar di Amerika yang independen, mereka bilang Indonesia tumbuh stay very good. Dan Ibu Ani (Sri Mulyani) sangat hati-hati untuk mengelola ini," tandas dia.

Sekadar informasi, utang pemerintah pusat per September 2017 meningkat tajam jika dibandingkan dengan Agustus 2017. Hingga September, utang pemerintah mencapai Rp 3.866,45 triliun, atau naik Rp 40,66 triliun dibanding Agustus yang sebesar Rp 3.825,79 triliun.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

 

 

 

 

Utang pemerintah pusat per September 2017 meningkat tajam jika dibandingkan Agustus 2017. Hingga September, utang pemerintah mencapai Rp 3.866,45 triliun, atau naik Rp 40,66 triliun dibandingkan Agustus yang sebesar Rp 3.825,79 triliun.

Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran pemerintah mengalami defisit, untuk mengendalikannya harus ada tambahan anggaran yang salah satunya diperoleh dari utang.

"K‎alau defisit ya memang harus ada kenaikan," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (19/10/2017).

Dalam keterangan resminya di laman resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang pemerintah pusat sebesar Rp 3.866,45 triliun sampai dengan September ini, terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.128,46 triliun dan pinjaman Rp 737,99 triliun.

Rinciannya terdiri dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 2.591,55 triliun (67,0 persen), Surat berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk sebesar Rp 536,91 triliun (13,9 persen), dan pinjaman sebesar Rp 737,99 triliun (19,1 persen).

Utang tersebut didominasi oleh utang dalam mata uang Rupiah (59 persen), diikuti porsi utang dalam mata uang asing, yakni Dolar Amerika Serikat (29 persen), Yen Jepang (6 persen), Euro (4 persen), Special Drawing Right (1 persen), dan beberapa valuta asing lain (1 persen).

Jika dilihat, terjadi penambahan utang neto dalam kurun waktu satu bulan (Agustus-September 2017) senilai Rp 40,66 triliun. Berasal dari penerbitan SBN sebesar Rp 40,51 triliun (neto) dan penarikan pinjaman sebesar Rp 0,15 triliun (neto).

"Tambahan pembiayaan utang tersebut memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial," kata Dirjen PPR, Robert Pakpahan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

 

2 dari 2 halaman

Tutup defisit

Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran pemerintah mengalami defisit, untuk mengendalikannya harus ada tambahan anggaran yang salah satunya diperoleh dari utang.

"K‎alau defisit ya memang harus ada kenaikan," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 19 Oktober 2017.

Dalam keterangan resminya di laman resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang pemerintah pusat sebesar Rp 3.866,45 triliun sampai dengan September ini, terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.128,46 triliun dan pinjaman Rp 737,99 triliun.

Rinciannya terdiri dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 2.591,55 triliun (67,0 persen), Surat berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk sebesar Rp 536,91 triliun (13,9 persen), dan pinjaman sebesar Rp 737,99 triliun (19,1 persen).

Utang tersebut didominasi oleh utang dalam mata uang Rupiah (59 persen), diikuti porsi utang dalam mata uang asing, yakni Dolar Amerika Serikat (29 persen), Yen Jepang (6 persen), Euro (4 persen), Special Drawing Right (1 persen), dan beberapa valuta asing lain (1 persen).

Jika dilihat, terjadi penambahan utang neto dalam kurun waktu satu bulan (Agustus-September 2017) senilai Rp 40,66 triliun. Berasal dari penerbitan SBN sebesar Rp 40,51 triliun (neto) dan penarikan pinjaman sebesar Rp 0,15 triliun (neto).

"Tambahan pembiayaan utang tersebut memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial," kata Dirjen PPR, Robert Pakpahan.