Sukses

The Fed hingga Korea Utara Jadi Sentimen Bayangi Pasar Keuangan

Ada sejumlah sentimen dan risiko yang membayangi pasar keuangan hingga akhir 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah sentimen dan risiko akan pengaruhi pasar keuangan pada akhir 2017. Tingkat keyakinan, baik investor, dunia usaha dan konsumen akan menjadi kunci bagi iklim investasi dan sentimen di pasar keuangan.

Portfolio Manager PT Manulife Asset Manajemen Indonesia, Andrian Tanuwijaya menuturkan hal itu dalam laporan pandangan terkini pasar keuangan Indonesia, seperti ditulis Rabu (24/10/2017).

Oleh karena itu, tingkat keyakinan menjadi kunci, pihaknya terus memperhatikan dampak pelonggaran moneter kepada ekonomi riil.

"Jika transmisi penurunan suku bunga tidak secara efektif mendorong laju ekonomi, akan terjadi kekecewaan pasar, turunnya keyakinan investor dan selera berinvestasi," jelas dia.

Ia menuturkan, faktor eksternal lainnyang yang perlu diperhatikan yaitu perkembangan reformasi pajak Amerika Serikat (AS), pertemuan bank sentral AS atau the Federal Reserve (The Fed) pada Desember, perkembangan geopolitik Asia Utara yang selalu timbulkan gangguan serta volatilitas di pasar saham Asia termasuk Indonesia.

"Selain itu kebijakan ekonomi China usai National Party Congress," kata dia.

Terkait kekhawatiran investor mengenai aliran dana keluar dari pasar negara berkembang seiring rencana kenaikan suku bunga the Federal Reserve dan reformasi pajak AS, Andrian menilai, kondisi pasar negara berkembang sangat berbeda dibandingkan 2013 ketika tapering terjadi.

"Dari sisi fundamental makro ekonomi, negara berkembang saat ini dalam posisi lebih bagus dengan current account defisit terjaga dan tingkat cadangan devisa yang jauh lebih sehingga dapat digunakan menjaga stabilitas pasar keuangan," jelas dia.

Selain itu, secara siklus ekonomi negara berkembang juga dalam fase pemulihan ekonomi berbeda dengan 2013 yang alami perlambatan dipengaruhi pengetatan moneter China.

"Tren ini pun terjadi di Indonesia. Saat ini Indonesia mengalami ketahanan jauh lebih baik untuk hadapi volatilitas mata uang dolar AS dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," kata dia.

Hal itu didukung cadangan devisa yang tinggi, posisi surplus neraca perdagangan dan defisit neraca berjalan yang terkendali.

Sedangkan dari kebijakan moneter, pihaknya melihat ada decoupling antara kebijakan moneter AS dengan negara berkembang.

"Biasanya kebijakan moneter negara berkembang akan ikuti arah kebihakan AS, namun dengan kondisi inflasi rendah di Asia dan makroekonomi stabil, kondisi ini buka ruang bank sentral negara berkembang untuk melakukan pelonggaran moneter lebih lanjut jika dibutuhkan," jelas dia.

Andrian melihat, risiko aliran dana investor asing keluar seperti 2013 cukup minim.

Terkait pergerakan rupiah ke depan, Andrian meliha mata uang dolar AS menguat usai pengumuman reformasi perpajakan AS yang telah lama dinanti. Reformasi pajak AS itu juga salah satu janji utama Presiden AS Donald Trump.

Pengurangan pajak korporasi dan insentif bagi repatriasi dana dari luar negeri meningkatkan kekhawatiran terjadinya aliran dana keluar dari negara berkembang untuk "pulang" ke AS.

"Tren pergerakan mata uang dolar AS akan ikuti perkembang rencana reformasi perjakan tersebut. Harapan pasar yang tinggi dapat segera berbalik arah kehilangan momentum jika reformasi ini gagal diimplementasikan," ujar dia.

Hal ini seperti yang terjadi pada rencana reformasi layanan kesehatan untuk mengganti Obamacare, gagal diimplementasikan Presiden Trump.

"Jadi ada faktor yang dapat membuat dolar AS menguat tapi cukup banyak pula yang dapat membuat dolar AS berbalik arah kembali ke tren pelemahan," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: