Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menilai fenomena tumbangnya toko-toko ritel modern lantaran terjadi anomali atau perubahan gaya hidup konsumen. Perilaku konsumen mulai bergeser dari hobi belanja menjadi gemar jalan-jalan atau plesiran.
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicolas Mandey menceritakan kinerja industri ritel modern tercatat berada di bawah atau kurang menggairahkan dalam 2,5 tahun ini. Data terakhirnya menunjukkan, pertumbuhan industri ritel pada semester I-2017 sebesar 3,7 persen atau lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu di kisaran 5-6 persen.
Baca Juga
Dengan capaian tersebut, dia memperkirakan pertumbuhan industri ritel tahun ini hanya akan mencapai 7 persen atau turun dibanding tahun sebelumnya sebesar 9 persen. Kondisi ini berbeda dengan pertumbuhan pada 2012-2013 yang menembus 14-15 persen.
Advertisement
"Ini menggambarkan ritel masih tumbuh tapi melambat. Dengan pertumbuhan 7 persen, kontribusi kita sekitar Rp 210 triliun ke produk domestik bruto (PDB). Tahun lalu saja sekitar Rp 200 triliun," jelas Roy saat Diskusi Kongkow Bisnis Pas FM di Hotel Ibis, Jakarta, Rabu (1/11/2017).
Roy menerangkan, faktor penyebab utama bisnis ritel modern kembang kempis selama 2,5 tahun lebih karena perubahan perilaku konsumen. Saat ini dengan perkembangan internet (Internet of Things/IoT) ataupun era digitalisasi, sambungnya, belanja tidak lagi menjadi kebutuhan pokok selain makan dan minum.
"Konsumen bertambah, tapi porsi belanjanya makin kecil. Dulu, orang belanja sampai stok untuk sebulan, tapi sekarang belanja secukupnya saja. Kalau kehabisan beras atau lainnya, tinggal diantar ojek online. Jadi segalanya dimudahkan membuat belanja itu bukan yang utama," paparnya.
Lalu, ke mana uang mereka lari?
Menurut Roy, masyarakat kini lebih senang menggunakan uang untuk berjalan-jalan, bepergian ke suatu daerah maupun ke luar negeri (leisure). Tak heran bila grafik leisure oleh Bank Indonesia (BI), diakuinya, menunjukkan pertumbuhan 0,3 persen dari 4,58 persen menjadi 4,87 persen. Sementara pertumbuhan konsumsi hanya 0,1 persen.
"Mal sampai hari ini tetap ramai apalagi yang 70-80 persen menyediakan makanan minuman, tapi yang bawa tas belanja bisa dihitung. Dari data grafik BI ini, leisure tumbuh luar biasa, tapi konsumsi tumbuh melambat. Jadi, masyarakat menabung untuk mereka nikmati lagi untuk travel," tuturnya.
Saat orang-orang yang memiliki uang lebih menahan belanja, Roy bilang, masyarakat kelas menengah ke bawah di kabupaten/kota justru tak memiliki penghasilan untuk konsumsi. Alasannya, produktivitas mereka rendah lantaran anggaran transfer ke daerah, penyerapannya hanya 30 persen. Bahkan rata-rata provinsi, lanjutnya, baru 60 persen.
"Tahun ini sudah mau habis, lalu ke mana uangnya? Cuma nyangkut di bank, dan tidak tersalurkan. Tidak ada produktivitas, maka tidak ada hasil, kalau tidak ada hasil, tidak ada konsumsi," terangnya.
Â
Anomali Ritel Modern
Roy pun berpendapat, ada anomali di industri ritel modern saat ini melalui perubahan perilaku konsumen. Hal ini tidak sejalan dengan data-data ekonomi makro Indonesia yang menunjukkan angka-angka positif, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi rendah, tren defisit transaksi berjalan di bawah 3 persen dari PDB, kredit bermasalah masih di bawah 5 persen, ekspor tumbuh baik, dan pertumbuhan investasi 13,7 persen.
"Dashboard ekonomi makro bagus, bank sehat, tapi kenapa hilirnya jelek. Ini sudah terjadi 2,5 tahun saat pemerintahan baru masuk, APBN terlambat Juli baru cair, kacau semua harga, sampai sekarang masih terus berlanjut, sehingga ini anomali ritel modern," paparnya.
Sementara toko online yang disebut-sebut menjadi biang keladi atas tutupnya toko ritel modern konvensional belum juga terbukti. Roy menjelaskan, asosiasi e-commerce maupun Menteri Komunikasi dan Informatika belum bisa menyajikan data-data jelas mengenai kontribusi dari toko online.
Namun demikian, mengutip data yang dirilis konsultan asing, Roy menyebut dari 89-90 juta pengguna internet, baru sekitar 8,5 juta orang yang belanja online secara aktif. Per tahun, nilai transaksinya diperkirakan US$ 4,89 miliar.
"Kalau dihitung dengan market cap modern ritel yang US$ 320 miliar, berarti nilai itu baru 1,4 persen dari toko online di tahun ini. Sementara ritel kontribusinya ke PDB mencapai 54 persen. Jadi online bukan merupakan sesuatu yang menggerus offline," pungkas Roy.
Advertisement