Liputan6.com, Jakarta - Perubahan pola konsumsi masyarakat turut membuat perbankan menyesuaikan sasaran pembiayaan atau kredit. Hal tersebut salah satunya dilakukan oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Direktur Bisnis Menengah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Putrama Wahju Setyawan mengatakan, saat ini pola konsumsi masyarakat berubah dari belanja barang menjadi kebutuhan untuk berwisata dan kuliner. Hal ini yang sering disebut-sebut menjadi penyebab tertekannya bisnis ritel.
‎"Beberapa pengamat mengatakan ada pergeseran dari pola konsumsi sehingga ritel tertekan. Di situ kami mencoba memahami bahwa spending masyarakat lebih banyak ke leisure. Tadinya beli barang, sekarang lebih ke experience. Yang tidak tergantikan dengan cara transaksi yang cashless," ujar dia di Kantor Pusat BNI, Jakarta, Rabu (8/11/2017).
Advertisement
Baca Juga
Sadar akan hal tersebut, bank berkode saham BBNI kini lebih banyak mengucurkan pembiayaan untuk sektor yang terkait dengan konsumsi masyarakat yaitu hotel dan restoran. Namun demikian, bank pelat merah tersebut tetap menyalurkan kredit untuk sektor perdagangan.
"Dari sisi pembiayaan menengah masih lebih banyak di sektor ekonomi perdagangan, hotel dan restoran. Hotel kami cukup banyak dengan syarat kami tidak membiayai dari awal, yang artinya hotel sudah berdiri dan sudah ada pendapatan, jadi kami refinancing. Komposisinya, perdagangan itu 19 persen. Untuk hotel dan restoran 32 persen," jelas dia.
Selain sektor tersebut, BNI juga akan meningkatkan pembiayaan untuk sektor industri pengolahan dan manufaktur. Hal ini mengingat industri tersebut akan menjadi tumpuan dalam penyerapan tenaga kerja ke depannya.
"Tak kalah penting juga kami masuk ke sektor manufaktur. Di 2030 nanti kita akan menikmati bonus demografi, kita akan ciptakan lapangan kerja dan ini yang ciptakan manufaktur, kita masuk ke industri pengolahan," kata dia.
Meski demikian, BNI akan lebih selektif dalam menyalurkan kreditnya untuk sektor ini. Sebab selama ini sektor manufaktur mencatatkan kredit macet atau nonperforming loan (NPL) yang cukup tinggi.
"NPL di sektor tersebut masih cukup menantang. Tapi kami lebih dalam lihat bidang usahanya, yang pemainnya sedikit, yang kompetitifnya tidak ketat. Contoh (tidak untuk) industri pengolahan plastik bekas, barrier to entry-nya lemah, bahan baku terbatas, jadi penuh kompetitif," ‎ujar Putrama.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
BNI Kantongi Laba Rp 10,16 Triliun
PT Bank Negara Indonesia Tbk (Bank BNI) mencatatkan laba bersih Rp 10,16 triliun hingga kuartal III 2017. Laba tersebut tumbuh 31,6 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya Rp 7,72 triliun.
"Kenaikan laba bersih ini terutama ditopang oleh penyaluran kredit BNI yang tumbuh 13,3 persen atau lebih cepat dibandingkan pertumbuhan kredit industri yang berada pada level 8,2 persen per Juli 2017," kata Wakil Direktur Utama BNI Herry Sidharta, di Jakarta, Kamis 12 Oktober 2017.
Dia menjelaskan, BNI menyalurkan kredit sebesar Rp 421,41 triliun pada kuartal III 2017. Laba tersebut lebih tinggi 13,3 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya Rp 372,02 triliun.
Segmen business banking memiliki komposisi 78,3 persen dari total kredit. Kredit ini sebesar Rp 329,75 triliun atau tumbuh 13,9 persen dibanding periode sama tahun lalu Rp 289,47 triliun.
Pada business banking, segmen korporasi 23,6 persen dari total kredit, BUMN 19,4 persen, segmen menengah 16,1 persen dan segmen kecil 12,8 persen.
"Di samping kredit sektor business banking, BNI juga mengucurkan pembiayaan ke sektor bisnis konsumer yang teralokasikan sebesar 16,3 persen dari total kredit atau sebesar Rp 68,53 triliun, tumbuh 9,2 persen di atas realisasi periode yang sama tahun 2016 sebesar Rp 62,73 triliun," jelas dia.
Strategi yang dilakukan dengan mendorong pertumbuhan kredit di atas industri yakni, pertama, menggali potensi pasar pembiayaan BUMN dengan fokus pada proyek infrastruktur dan sektor industri yang memiliki risiko rendah dan terkontrol.
Kedua, mengoptimalkan jaringan dan outlet untuk mampu menggarap potensi pasar yang ada. Ketiga, menggali potensi supply chain debitor korporasi untuk menangkap potensi debitur baru.
Untuk meningkatkan penyaluran kredit ke segmen Korporasi, perusahaan melaksanakan paduan strategi.
"Pertama, fokus pada pembiayaan proyek infrastruktur dan BUMN. Kedua, fokus pada pembiayaan sektor berisiko rendah seperti pertanian dan perkebunan. Ketiga, tidak melakukan ekspansi ke sektor yang berisiko cukup tinggi karena faktor eksternal, seperti pertambangan," kata dia.
Perseroan menghimpun dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 480,53 triliun atau naik 19,6 persen dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 401,88 triliun.
Komponen dana murah (current account saving account/CASA) menunjukan peningkatan. Komposisinya dari 59,7 persen dari total DPK menjadi 60,4 persen pada kuartal III tahun ini.
Â
Advertisement