Liputan6.com, Jakarta Keputusan sementara Pemprov Kaltim yang menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 8,71 persen tahun depan, dinilai memberatkan dunia pebisnis. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pun kembali mengusulkan sistem klaster atas standar pengupahan, berdasarkan kualifikasi dan klasifikasi usaha.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kadin Kaltim, Slamet Brotosiswoyo. Saat ini, kata dia, di perusahaan kecil, menengah hingga besar, berlaku patokan yang sama atas batas pengupahan ini.
Baca Juga
Kondisi tersebut, kata Slamet, sangat merugikan pengusaha kecil. Karena itu, perlu pertimbangan untuk tak memukul rata UMP kepada setiap perusahaan.
Advertisement
“Kenaikan UMP tahun depan juga terlampau besar. Padahal, kinerja ekonomi Kaltim baru saja masuk level positif tahun ini, setelah minus pada beberapa tahun sebelumnya,” ujar Slamet.
Penetapan UMP mengacu pada Pasal 44 ayat 2 PP 78/2015, dengan menghitung data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi atau pendapatan domestik bruto (PDB). Setidaknya sejak 2013 lalu, UMP di Kaltim selalu naik, dari semula Rp 1,75 juta per bulan, hingga Rp 2,54 juta per bulan pada tahun depan.
“Saat ini, hanya 36 persen perusahaan di Kaltim yang mampu membayar sesuai UMP itu,” ucap pria yang juga ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim. Sedangkan 64 persen lainnya, menurut Slamet, belum mampu mengikuti standar pengupahan provinsi tersebut.
Jika setiap tahun UMP Benua Etam terus naik dengan angka yang signifikan, dia menyebut akan semakin banyak perusahaan yang tak mampu mampu membayar upah sesuai standar.
“Kalau gubernur memberikan sanksi untuk perusahaan yang tidak menerapkan UMP, berarti 64 persen perusahaan di Kaltim itu kena sanksi,” ucap dia.
Menurut dia, ancaman tidak memberikan izin untuk perusahaan yang tidak menerapkan UMP Kaltim, berarti secara tidak langsung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk jutaan orang.
Slamet menjelaskan, sejak beberapa tahun terakhir, pengusaha sudah mengusulkan pemberlakuan klaster pengupahan. Artinya, penetapan upah minimum harus mengacu pada klasifikasi dan kualifikasi usaha.
“Karena kemampuan perusahaan berbeda-beda. Sekarang ini dilakukan sama rata, sehingga pengusaha kecil harus membayar karyawannya sama seperti perusahaan besar,” ungkapnya.
(saeroni)
Jaminan Sosial
Slamet Brotosiswoyo mengatakan, dampak lain dari tak berjalannya batas UMP untuk 64 persen perusahaan di Kaltim adalah sulitnya memproses jaminan sosial.
Pasalnya, dalam BPJS Ketenagakerjaan, perlindungan hanya diberikan terhadap karyawan yang dibayar sesuai UMP atau UMK (upah minimum kabupaten/kota).
“Serikat Buruh saja setuju jika berlaku klaster untuk pengupahan. Hanya, pemerintah memang dari dulu tidak pernah setuju. Sudah dua tahun lalu diajukan, tapi tak kunjung ditanggapi,” ungkap Slamet.
Sebelumnya, kenaikan UMP 8,71 persen disampaikan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, Rabu (25/10). Kenaikan itu bersifat sementara dan akan disahkan hari ini.
“Hasil sementara memang segitu. Tapi, resminya akan diumumkan pada 1 November. Saya mengimbau, bupati dan wali kota selambat-lambatnya menetapkan upah minimum kabupaten kota (UMK) 2018 pada 21 November 2017,” ucap Gubernur.
Advertisement