Sukses

Dolar AS Melemah, Investor Menunggu Kepastian Reformasi Pajak

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.509 per dolar AS hingga 13.521 per dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat tipis pada perdagangan hari ini. Dolar AS bisa melemah jika kepastian soal reformasi perpajakan tidak segera muncul. 

Mengutip Bloomberg, Kamis (9/11/2017), rupiah dibuka di angka 13.513 per dolar AS, menguat tipis jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.514 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.509 per dolar AS hingga 13.521 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 0,32 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.514 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.524 per dolar AS.

Dolar AS memang cukup stabil terhadap sekeranjang mata uang pada perdagangan Kamis pekan ini. Namun, prospek jangka panjang terlihat cerah karena rencana reformasi perpajakan yang dicanangkan oleh Presiden AS Donald Trump.

Partai Republik tengah mengajukan draf perpajakan baru dengan memangkas pajak korporasi dari 35 persen menjadi 20 persen.

Banyak pengamat pasar menunjukan bahwa pemotongan pajak perusahaan sebagai bahan bakar lebih lanjut bagi dolar AS. Investor mengatakan bahwa undang-undang tersebut hanyalah sebuah titik awal dengan kemungkinan negosiasi yang signifikan di masa depan.

"Tetapi dolar AS bisa menuju fase pelemahan jika kepastian pengenai reformasi perpajakan ini tidak segera tidak segera keluar," jelas Steven Dooley analis Western Union Business Solutions di Melbourne seperti dikutip dari Reuters.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Pergantian gubernur the Fed

Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyebut, nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan tersebut, lanjut dia, tergantung dengan kondisi ekonomi AS.

"Kalau Trump policy menurunkan pajak, mengudang uang AS itu berhasil. Kemudian ekonomi AS tambah booming, sekarang booming mau tambah lagi, pasti orang capital market, ekonom inflasinya akan naik," kata dia dalam acara Economic & Capital Market Outlook 2018 di Jakarta, Selasa (31/10/2017).

Dia menuturkan, jika inflasi naik, The Fed akan cenderung menaikkan suku bunga acuan. Alhasil, terjadi aliran modal kembali ke AS.

Tak sekadar itu, cepat tidaknya kenaikan suku bunga tergantung pimpinan baru The Fed. "Selain tergantung inflasi, juga tergantung pilotnya di The Fed," ujar dia.

Dia menyebut, terdapat beberapa tipikal pemimpin The Fed. Dia menuturkan, ada orang dengan tipikal dowvish yakni orang yang sangat hati-hati terhadap kenaikan suku bunga. Adapula hawkish yakni orang yang terus berupaya mencegah supaya inflasi tinggi.

Terlepas dari itu, Mirza menyebut, selama inflasi Indonesia rendah dan anggaran negara sehat, maka aliran modal tetap bertahan. Artinya, nilai tukar rupiah juga terjaga.