Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) dinilai perlu membenahi internal perusahaan. Hal tersebut menyusul adanya potensi kehilangan pendapatan yang dialami perseroan sekitar Rp 19 triliun ‎hingga kuartal III 2017.
Anggota Komisi VII DPR RI Joko Purwanto mengatakan, jika memang potensi kerugian sebesar itu, Pertamina harus segera berbenah guna menekan angka potensi kerugian tersebut. Menurut dia, hal tersebut lebih baik ketimbang Pertamina hanya bergantung dari kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini.
"Pertamina harus terus berbenah diri dan terus melakukan pengembangan kualitas produknya," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (10/11/2017).
Advertisement
Baca Juga
Terlebih lagi, lanjut Joko, Pertamina telah memiliki target untuk menjadi perusahaan energi kelas dunia di 2025. Untuk mencapai target tersebut, maka pembenahan di internal perusahaan harus terus dilakukan.
‎Hal senada juga diungkapkan oleh Pengamat Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa. Menurut dia, adanya potensi kehilangan pendapatan ini harus jadi sinyal bagi Pertamina untuk segera memperbaiki kualitas dan mulai transparan soal harga bahan bakar minyak (BBM).
"Pertamina juga harus mulai melakukan audit terkait dengan hilangnya pendapatan perseroan tersebut, agar masyarakat tahu bagaimana keadaan bisnis Pertamina yang sesungguhnya,"Â ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Â
Pertamina Berpotensi Kehilangan Pendapatan Rp 19 Triliun
Sebelumnya diberitakan, PT Pertamina (Persero) kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 19 triliun hingga kuartal III 2017. Penyebabnya kenaikan harga minyak dunia yang tidak diimbangi dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penugasan dari pemerintah.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, ‎dalam 9 bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) ‎naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barel.
Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM. "Harga ICP itu rata rata 9 bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata rata 9 bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan," ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta.
Jika harga BBM tersebut dinaikkan, maka pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.
"Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan," kata dia.
Meski demikian, pendapatan yang diraih Pertamina di kuartal III 2017 ini tetap lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 26,62 miliar.
Namun laba bersih Pertamina hingga kuartal III tahun ini turun dibandingkan periode yang sama di 2016. Hingga September 2017, perusahaan plat‎ merah tersebut hanya meraih laba bersih US$ 1,99 miliar, dari sebelumnya US$ 2,83 miliar.
"Walaupun tanpa laba, kita bisa mencatatkan laba US$ 2,83 miliar (kuartal III 2016). Cost kita naik 30 persen, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27 persen. Angka EBITDA juga turun (dari US$ 6,23 miliar menjadi US$ 4,88 miliar)," jelas dia.
Meski mengalami kehilangan potensi pendapatan dan penurunan laba, namun Elia mengaku tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, apa yang dijalankan Pertamina selama ini telah sesuai dengan kebijakan pemerintah.
"Tapi it's okay. Ini kan kebijakan pemerintah dinikmati oleh konsumen Pertamina. Konsumen dapat harga BBM yang lebih murah. Masalah harga banyak kan selama ini, ini ditentukan oleh pemerintah. Kedua, Pertamina kan sebenarnya milik pemerintah 100 persen," kata dia.
Advertisement