Liputan6.com, New York - Harga minyak turun terpicu ketegangan di Timur Tengah dan taruhan para manajer investasi yang diimbangi peningkatan produksi minyak di Amerika Serikat (AS).
Melansir laman Reuters, harga minyak mentah Brent turun 26 sen per barel ke posisi US$ 63,27 per barel, setelah menyentuh level rendahnya di US$ 62,61 per barel.
Minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) mendatar pada posisi US$ 56,74 setelah turun di awal ke posisi US$ 56,30 per barel.
Advertisement
Baca Juga
Ketegangan Timur Tengah beberapa waktu telah mendukung harga minyak di pasar saham, terlepas dari kekhawatiran bahwa output dapat meningkat lebih jauh.
"Kenaikan produksi di Arab Saudi yang menghasilkan lebih dari 10 juta barel per hari akan bertambah. Ini adalah tingkat baru dari risiko geopolitik," kata John Kilduff Partner dari Again Capital.
Di sisi penawaran, ketegangan di Timur Tengah menimbulkan prospek gangguan. Aksi bersih-bersih oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman adalah salah satu faktor kunci yang meningkatkan kekhawatiran tentang stabilitas politik di produsen minyak terbesar di kawasan ini.
Perhatian regional lainnya termasuk perang di Yaman dan meningkatnya ketegangan antara Arab Saudi dan Iran juga menjadi perhatian investor.
Selain itu, para pedagang juga mengkhawatirka gempa kuat yang melanda Iran dan Irak pada hari Minggu telah mempengaruhi produksi minyak di kawasan ini.
Bahrain mengatakan pada akhir pekan bahwa sebuah ledakan yang menyebabkan kebakaran pada pipa minyak utamanya pada hari Jumat akibat aksi sabotase, yang dilakukan Iran, meski negara ini menolak adanya peran apapun.
OPEC memperkirakan permintaan minyak akan lebih tinggi pada 2018 dan mengatakan bahwa kesepakatan pemotongan produksi dengan produsen saingannya mengurangi kelebihan minyak dalam penyimpanan, mengarah ke pasar global yang lebih ketat tahun depan. Namun, di sisi lain produksi Saudi telah meningkat di atas 10 juta barel per hari.
Tingkat persediaan yang dipegang industri di atas rata-rata lima tahun "telah turun lebih dari 50 persen pada 2017, dengan persediaan saat ini sekitar 160 juta barel, menurut konsultan Timera Energy.
"Jika tren saat ini terus berlanjut, persediaan kemungkinan akan kembali ke rata-rata lima tahun pada tahap tertentu di tahun 2018," konsultan ini menambahkan, seraya menambahkan bahwa permintaan yang kuat juga membantu mengurangi kekenyangan.
 Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Â
Harga Minyak Pekan Lalu
Harga minyak sedikit turun seiring harapan OPEC dan produsen lainnya akan perpanjang kesepakatan pemotongan produksi diimbangi dengan produsen minyak Amerika Serikat (AS) yang menambah rig minyak. Ini menunjukkan produksi minyak akan terus bertambah.
Berdasarkan laporan perusahaan energi General Electric Co Baker Hughes, perusahaan energi AS menambah sembilan rig pengeboran minyak pada pekan ini. Hal itu mendorong jumlah rig mencapai 738.
Harga minyak Brent pun turun 41 sen atau 0,6 persen menjadi US$ 63,52 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) susut 43 sen menjadi US$ 56,74 per barel.
Awal pekan ini, harga minyak Brent naik menjadi US$ 64,65, dan merupakan level tertinggi sejak Juni 2015. Harga minyak WTI mencapai US$ 57,92 tertinggi sejak Juli 2015. Harga minyak tersebut naik lebih dari dua persen dalam minggu ini.
Pelaku pasar menilai, kenaikan harga minyak dalam beberapa pekan terakhir merupakan hasil usaha yang dipimpin the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan Rusia untuk memperketat pasar dengan mengurangi produksi, permintaan yang kuat dan meningkatnya ketegangan politik.
Ada juga harapan di pasar kalau pertemuan OPEC berikutnya pada 30 November akan menyetujui untuk memperpanjang pemangkasan produksi di luar batas akhir masa berlaku pada Maret 2018.
"Pelaku pasar memperkirakan OPEC akan memperpanjang penurunan produksi melampaui Maret 2018 dan pasokan akan turun. Namun tingkat harga lebih tinggi juga harus mengarah pada peningkatan produksi shale minyak AS," kata Analis Commerzbank seperti dikutip dari laman Reuters, Sabtu (11/11/2017).
Produksi minyak AS diperkirakan meningkat menjadi 9,2 juta barel per hari pada 2017. Kemudian diperkirakan 10 juta barel per hari pada 2018.
Goldman Sachs juga memperingatkan ada volatilitas harga minyak lebih tinggi ke depan. Ini seiring meningkatnya ketegangan di Timur Tengah terutama antara anggota OPEC Arab Saudi dan Iran. Ini juga bersamaan dengan melonjaknya produksi minyak AS.
Pemimpin Hizbullah mengatakan Arab Saudi telah mengumumkan perang terhadap Lebanon dan kelompoknya yang didukung Iran.
"Situasi politik di Arab Saudi cukup bergejolak untuk menaikkan harga minyak," ujar Jim Ritterbusch, Presiden Direktur Ritterbusch & Associates, perusahaan konsultan energi.
Â
Advertisement