Sukses

DPR Tunggu Pemerintah Audit Potensi Hilang Pendapatan Pertamina

Hal tersebut menyusul potensi hilangnya pendapatan perusahaan pelat merah tersebut sebesar Rp 19 triliun.

Liputan6.com, Jakarta Komisi VII DPR RI menunggu pemerintah melakukan audit investigasi terhadap PT Pertamina (Persero). Hal tersebut menyusul potensi hilangnya pendapatan perusahaan pelat merah tersebut sebesar Rp 19 triliun.

Anggota Komisi VII DPR RI, Harry Poernomo, menyatakan pihaknya masih menunggu hasil audit investigasi yang dilakukan terhadap Pertamina. Audit ini dinilai perlu dilakukan mengingat jumlah potensi kehilangan pendapatan ini cukup besar dan akan berdampak terhadap kontribusi Pertamina terhadap negara.

"Kita tunggu hasil audit tersebut," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (14/11/2017).

Harry berharap, dari hasil audit investigasi tersebut nanti bisa ditemukan akar masalah, dan pemerintah bisa segera mencari cara untuk memperbaiki tata kelola Pertamina selama ini.

"Jika nanti ada hasil investigasi yang membuktikan masalahnya. Baru tindak lanjut audit dengan tujuan tertentu," kata dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Center for Bugdet Analysis Uchok Sky Khadafi. Menurut dia, saat ini Pertamina memang dihadapkan oleh berbagai macam masalah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi agar potensi kehilangan pendapatan yang dialami Badan Usaha Milik Negara tak kembali terjadi.‎

"Dengan adanya potensi ini, diharapkan pemerintah melakukan audit investigasi lagi agar ini tidak terulang lagi," tandas dia.

 

2 dari 2 halaman

selanjutnya

Diberitakan sebelumnya, PT Pertamina (Persero) kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 19 triliun hingga kuartal III 2017. Penyebabnya kenaikan harga minyak dunia yang tidak diimbangi dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penugasan dari pemerintah.

Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, ‎dalam sembilan bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) ‎naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barel.

Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM. "Harga ICP itu rata rata sembilan bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata-rata sembilan bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan," ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta.

Jika harga BBM tersebut dinaikkan, pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian, maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.

"Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi, kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan," kata dia.

Meski demikian, pendapatan yang diraih Pertamina di kuartal III 2017 ini tetap lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 26,62 miliar.

Namun, laba bersih Pertamina hingga kuartal III tahun ini turun dibandingkan periode yang sama pada 2016. Hingga September 2017, perusahaan pelat‎ merah tersebut hanya meraih laba bersih US$ 1,99 miliar, dari sebelumnya US$ 2,83 miliar.

"Walaupun tanpa laba, kita bisa mencatatkan laba US$ 2,83 miliar (kuartal III 2016). Cost kita naik 30 persen, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27 persen. Angka EBITDA juga turun (dari US$ 6,23 miliar menjadi US$ 4,88 miliar)," jelas dia.

Meski mengalami kehilangan potensi pendapatan dan penurunan laba, Elia mengaku tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, apa yang dijalankan Pertamina selama ini telah sesuai dengan kebijakan pemerintah.

"Tapi it's okay. Ini kan kebijakan pemerintah dinikmati oleh konsumen Pertamina. Konsumen dapat harga BBM yang lebih murah. Masalah harga banyak kan selama ini, ini ditentukan oleh pemerintah. Kedua, Pertamina kan sebenarnya milik pemerintah 100 persen," tandas dia.