Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana menaikkan daya listrik golongan nonsubsidi 900 VA, 1.300 VA, 2.200 VA, 3.300 VA, 4.400 VA menjadi 5.500 VA. Bagaimana dampak kebijakan ini terhadap inflasi jika konsumsi listrik dari masyarakat meningkat, dan ujung-ujungnya tagihan listrik membengkak?
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengatakan, kebijakan tersebut baru sebatas rencana PT PLN (Persero). BPS akan mengkaji dampaknya apabila diterapkan.
Advertisement
Baca Juga
"Kan masih wacana, belum diputuskan. Kami masih mempelajarinya sampai seberapa detail ke sana. Tapi sumbangan listrik ke inflasi ada, ya," kata dia usai Rilis Neraca Perdagangan Oktober 2017 di kantornya, Jakarta, Rabu (15/11/2017).
Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti menambahkan, sumbangan listrik terhadap inflasi cukup tinggi sebesar 2,5 persen sampai 3 persen.
"Listrik sama tinggi seperti beras, yang memberi kontribusi ke inflasi 2,5-3 persen. Jadi, kalau ada kenaikan tarif listrik dari penyederhanaan tersebut, maka bisa berpengaruh ke inflasi," dia menuturkan.
Inflasi, katanya, juga bisa dipengaruhi dari konsumsi atau pengeluaran masyarakat terhadap listrik. Dengan kata lain, jika pemakaian listrik berlebihan, maka ada pengaruh terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK).
"Iya ke inflasi pengaruh kan dari total pengeluaran untuk listrik berapa, ini yang kami hitung. Kami dapat data berapa konsumen menggunakan listrik, semua dari PLN," papar Yunita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hapus Golongan 1.300-3.300 VA, Konsumsi Listrik Bakal Bertambah
Pemerintah bersama PT PLN berencana untuk menyederhanakan golongan pelanggan listrik rumah tangga. Akibat penyederhanaan ini, akan terjadi penghapusan golongan antara 1.300 volt ampere (VA) hingga 3.300 VA.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan, rencana tersebut sangat tidak tepat jika dilaksanakan pada saat ini. Sebab, dengan adanya penyederhanaan atau penggabungan golongan pelanggan, secara otomatis akan memicu konsumsi listrik rumah tangga semakin besar.
"Saya kira kebijakan itu tidak tepat dengan kondisi ekonomi seperti sekarang. Karena logikanya kalau dayanya naik, otomatis konsumsi listrik secara umum akan naik. Dan itu tidak langsung berpengaruh pada produktivitas, apalagi penggunaan listriknya lebih mengarah ke konsumtif," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Dia menuturkan, meskipun pemerintah berjanji tidak akan menaikkan tarif listrik, jika konsumsinya meningkat akibat golongan listriknya dinaikkan, maka masyarakat mau tidak mau harus membayar listrik lebih mahal. Hal ini pada ujungnya justru akan semakin menekan daya beli masyarakat yang tengah lesu.‎
"Ini justru memberatkan pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan listrik. Dampaknya akan ke daya beli dan UMKM, mereka tidak punya disposable income untuk belanja barang lebih banyak," kata dia.
Bhima menyatakan, jika kebijakan ini jadi diterapkan, daya beli masyarakat bisa saja terus melorot hingga di bawah 4 persen. Padahal, dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kuartal III 2017 saja sudah terjadi penurunan daya beli menjadi 4,93 persen dari 4,94 persen pada kuartal II 2017.
"Konsumsi rumah tangga terus mengalami penurunan, bahkan bisa di bawah 4 persen. Ini tanda-tanda yang kurang bagus," ujar dia.
Â
Â
Advertisement