Sukses

Jurus Bos Alfamart Selamatkan Bisnis dari Serbuan Toko Online

Kinerja keuangan yang cukup tertekan di kuartal III ini, mendorong Alfamart untuk lebih efisien.

Liputan6.com, Cikokol Perusahaan ritel dengan merek Alfamart, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk mencatatkan penurunan laba bersih secara signifikan mencapai 85,84 persen di kuartal III-2017. Anjloknya keuntungan emiten berkode AMRT itu bukan disebabkan karena dominasi toko online (e-commerce) di Indonesia.

Presiden Direktur Sumber Alfaria Trijaya, A. Hans Prawira mengungkapkan, penurunan laba bersih tersebut karena dua hal. Pertama, realisasi penjualan di bawah harapan dan kedua, marjin yang tipis karena persaingan semakin ketat.

"Ekspektasi sales tidak tercapai karena pasar agak lemah, walaupun tetap tumbuh tapi melambat. Juga persaingan yang makin ketat, sehingga marjin tidak bisa improve," tegas Hans di kantornya, Cikokol, Tangerang, Sabtu (18/11/2017).

Dari data laporan keuangan Sumber Alfaria Trijaya kuartal III ini, pendapatan neto tercatat naik 10,23 persen menjadi Rp 45,61 triliun dibanding realisasi Rp 41,37 triliun di kuartal III-2016. Sementara laba periode berjalan anjlok 85,84 persen dari Rp 337,49 miliar menjadi Rp 47,78 miliar.

Kondisi tersebut, diakuinya bukan karena terdampak maraknya bisnis online. Hans menilai, pengaruh e-commerce terhadap bisnis Fast Moving Consumer Goods (FMCG) belum begitu besar.

"Jadi bukan karena e-commerce ada penurunan laba, tapi lebih kepada ekspektasi penjualan tidak tercapai dan susah improve marjin. Ke depan tidak tahu bagaimana perkembangan e-commerce, kami antisipasi saja," terangnya.

Antisipasi pertama, dia menyebut, mengubah model bisnis Alfacart dengan menggandeng perusahaan e-commerce, seperti Lazada, dan lainnya. Alfacart merupakan toko belanja online di bawah Sumber Alfaria Trijaya.

"Kita reposisi Alfacart, kalau dulu jalan sendiri, kini bekerja sama dengan e-commerce seperti Lazada. Kekuatan kita kan di grosir, jadi lebih baik kerja sama dibanding bikin e-commerce sendiri," terangnya.

Menurut Hans, kontribusi grosir pada perdagangan e-commerce baru Rp 1,5 triliun dari total bisnis yang mencapai nilai Rp 450 triliun. "Jadi masih kecil, dan kita mau ambil peluang itu," ucapnya.

Kinerja keuangan yang cukup tertekan di kuartal III ini, diakui Hans mendorong perusahaan untuk lebih efisien. Akan tetapi tidak berarti stop ekspansi.

"PR kita harus lebih efisien, tapi ekspansi masih tetap. Tahun ini kan 1.150 gerai, dan tahun depan 800 toko di Indonesia. Total toko sampai dengan saat ini berjumlah lebih dari 13.400 gerai," jelas Hans.

 

2 dari 2 halaman

Selamatkan Ritel Konvensional

Ditemui di lokasi yang sama, Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita mengatakan ada pergeseran atau perubahan gaya hidup masyarakat di Indonesia dan dunia. Konsumsi masyarakat, sambungnya, lebih kepada jalan-jalan (leisure), makan, minum.

"Pergeseran gaya hidup, tidak belanja lagi barang di luar kebutuhan tapi saving untuk leisure, makan," dia menerangkan.

Oleh karenanya, Mendag mengimbau agar pemain ritel modern lebih berinovasi mulai mendekatkan diri dengan masyarakat, seperti yang dilakukan Alfamart. Alasannya, perilaku masyarakat saat ini cenderung malas untuk pergi berbelanja ke luar.

"Mereka lebih suka praktis, di rumah sambil online. Malas tuh yang namanya pergi macet-macetan," ucap Enggartiasto.

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, diakuinya, telah membatasi pembukaan gerai atau toko asing.

"Kita sudah batasi asing. Kalau mau bikin stand alone dengan investasi penuh, tidak dikasih. Cuma luas 400 meter, 2.000 meter, mereka mau bikin ritel sendiri, saya bilang tidak. Saat ada yang minta dibuka, tidak saya kasih karena memukul ekonomi kita," tegasnya.

"Indonesia bisa kok bangun. Tapi kalau (asing) mau bikin industri besar-besaran, kita kasih," pungkas Enggartiasto.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: