Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali mengungkapkan fenomena Esteem Economy (pengakuan ekonomi) yang ikut menyeret perubahan terhadap perilaku jalan-jalan atau leisure masyarakat.
Â
Saat ini, masyarakat membunuh waktu luang hanya demi memperoleh pengakuan, terutama di sosial media (medsos)
Â
Rhenald menceritakan perbedaan gaya leisure pada abad ke-19, ke 20, dan 21. "Leisure yang kita kenal di abad 21 benar-benar berbeda. Leisure yang dulu digambarkan menikmati waktu hidup dan berekreasi, tapi kini berubah," ujar Rhenald seperti dikutip dari tulisannya di Jakarta, Senin (20/11/2017).Â
Â
Sebagai contoh, lanjutnya, para pekerja di Prancis dan Italia di akhir abad 20 menikmati leisure economy. Pukul 15.30, mereka sudah kongkow-kongkow menikmati happy hour di bar.
Â
Begitu pemerintah berencana menambah 30 menit saja waktu kerja per hari, mereka pun melawan dengan demo besar dan sedikit kerusuhan.
Â
Dari situ, Rhenald mengaku ragu dengan kemacetan mobil yang bergerak dari Jakarta ke Bandung hanya untuk plesiran atau leisure. "Macetnya bisa 4-6 jam. Kondisi agak serupa pun dialami Yogyakarta, di mana mobil-mobil bergerak mencari rumah makan. Tapi itu sepertinya bukan untuk leisure," jelas dia.Â
Â
Pada abad ke-19, dia mengenalnya dengan leisure class (Veblen, 1899). Lalu di abad ke-20 menjadi experience economy (Joseph Pine & Gilmore, 1998).
Â
"Tetapi kini disebut esteem economy, kumpulan dari manusia-manusia yang rindu pengakuan bahwa dia sudah sampai di sana," tegas Rhenald.Â
Â
Â
2 dari 2 halaman
Kebutuhan Tiap Generasi Berbeda
Rhenald menjelaskan, setiap generasi punya kebutuhan yang berbeda. Generasi dulu, membutuhkan leisure yang sesungguhnya, sementara generasi milenial butuh esteem atau pengakuan. "Mereka mencari share, like atau jempol karena difasilitasi media sosial," ujarnya.Â
Â
Fasilitas untuk foto, bukan hanya sekadar makan disediakan sebuah rumah makan.
Menurut Rhenald, makanannya standar saja. Tetapi, tak henti-hentinya ibu-ibu muda berdatangan karena ada foto bangunan besar tiga dimensi. Mereka bisa bergaya melayang seakan-akan tengah berada di atas gedung. Jadilah itu tempat selfie.
Â
Di desa Ponggok, Klaten, contoh lainnya, ada proyek dana desa yang berhasil, berupa desa wisata. Sebuah embung besar mereka bersihkan menjadi umbul untuk selfie di dalam air.Â
Â
Pengunjung pun berebut datang melakukan selfie di atas sepeda motor, bermain ayunan, pura-pura tengah bekerja atau berkemah di dalam air.Â
Â
"Alhasil, dari dana desa Rp 300 juta pada 2015, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) mampu meraih pendapatan Rp 15 miliar," tandas Rhenald.Â
Advertisement