Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang mencari formula untuk menurunkan harga gas untuk empat industri, yaitu keramik, kaca, sarung tangan dan oleochemical. Penurunan harga gas merupakan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah sedang mencari komponen yang bisa dikurang, dalam pembentukan harga gas untuk empat industri tersebut.
"Saya lebih menjawab untuk empat industri kita consider," kata Arcandra, di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Advertisement
Baca Juga
Arcandra mengungkapkan, ada beberapa pilihan untuk menurunkan harga gas, antara lain menurunkan bagian negara dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menurunkan harga jual gas dari sumur atau sisi hulu.
"Di situ tercantum PNBP dikurangi salah satu, yang lain harga hulu," tutur Arcandra.
Arcandra mengungkapkan, pemerintah masih mengkaji dampak bergandanya atas penurunan harga gas untuk memutuskan komponen biaya yang akan dikurangi dalam pembentukan harga gas.
"Kalau hulu diturunkan lagi seberapa jauh kita tekan harga hulu turun, sampai akhirnya tidak ada profit lagi. Jangan sampai profit berpindah dari hulu ke pengguna gasnya, kita harus lihat dampaknya. Kalau kita kasih insentif, berapa kali dampaknya, jangan sampai hanya mengalihkan profit," tutur Arcandra.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Harga Gas Mahal, Industri Pupuk di RI Kalah Saing
Sebelumnya, Pupuk Indonesia Holding Companny (PIHC) menyatakan, industri pupuk di Indonesia masih kalah saing jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya di dunia. Direktur Utama PIHC Aas Asikin mengungkapkan, kurangnya daya saing itu dikarenakan harga gas untuk industri ini yang masih mahal.
"Kita itu dapat harga gas itu kisaran US$ 6 per MMBTU, sementara di negara lain itu harganya untuk industri hanya US$1-3 per MMBTU, padahal biaya produksi itu 70 persen dari harga gas," kata Aas saat berbincang dengan wartawan di Kementerian BUMN, Senin 16 Oktober 2017.
Di negara lain, harga gas ini turun seiring dengan turunnya harga minyak dunia. Berbeda dengan yang ada di Indonesia, harga minyak dunia sudah turun. Namun penurunan harga gas ini tidak seperti yang diharapkan.
Indonesia banyak yang sudah berumur sehingga pemakaian gas cenderung lebih boros. Sementara pesaing banyak yang memiliki pabrik baru dengan tingkat pemakaian gas yang lebih efisien.
"Di kita itu, pemakaian gas sekitar 30 MMBTU per ton. Umurnya sudah tua. Harga gas mahal, konsumsi gasnya cukup tinggi. Ini yang jadi permasalahan kita. Sedangkan di luar, sudah harga gasnya murah pabriknya juga baru," tuturnya.
Persaingan di industri pupuk dunia ini tambah diperketat dengan adanya over supply yang terjadi saat ini. Aas mengaku supply dunia saat ini 240 juta, sedangkan pemakaian dunia hanya 180 juta.
"Namun begitu kami terus berupaya melakukan efektifitas produksi dan mulai banting setir dengan memproduksi produk-produk turunan pupuk, jadi tidak fokus di urea terus," terangnya.
Advertisement