Sukses

Menteri Jonan Kritik Pertamina soal Efisiensi

Ignasius Jonan meminta Pertamina melakukan efisiensi terhadap model bisnisnya, terutama dalam hal distribusi BBM.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan meminta PT Pertamina (Persero) untuk melakukan efisiensi terhadap model bisnisnya, terutama dalam hal distribusi bahan bakar minyak (BBM).

Jonan mencontohkan, dalam menjual BBM jenis Premium yang merupakan penugasan dari pemerintah, Pertamina mulai mengeluh karena tidak mendapatkan untung. Hal ini salah satunya disebabkan harga minyak mentah yang mulai naik.

"Pertamina jual Rp 6.450 (Premium) ini sudah mulai teriak karena harga minyak mentahnya naik terus," ujar dia dalam acara Seminar Dewan Pengawasan BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta, Kamis (23/11/2017).

Padahal, ada perusahaan baru yaitu Vivo yang juga menjual BBM RON-nya tidak jauh berbeda dengan dari Premium bahkan dengan harga yang lebih murah, tapi mengaku masih mendapatkan keuntungan.

"Kalau kita lihat penjualan BBM yang RON 88 itu hargnya ditetapkan pemerintah Rp 6.450. Ada perusahaan swasta buka SPBU, baru satu, tapi nanti dia akan buka di Serang, Ambon, terus ke timur dan sebagainya. Itu jualnya harganya RON 89 itu Rp 6.100. Lah ini yang baru masuk Rp 6.100 enggak apa-apa. Saya tanya masih untung enggak? Masih," kata dia.

Menurut Jonan, hal ini membuktikan jika selama ini Pertamina belum efisien dalam menjalankan bisnisnya. Padahal, jika bisa lebih efisien, ia yakin Pertamina akan mendapatkan untung yang lebih besar.‎‎

"Ini harus lebih efisien lagi, bisnis modelnya Pertamina dalam distribusi bensin. Ada yang bilang itu kan cuma 1-2 SPBU (Vivo). Lah 1-2 ini justru cost-nya lebih besar, daripada 5.000-6.000 SPBU," ungkap dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Harus ikuti tugas

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR, Eva Sundari, menyatakan, sebagai badan usaha milik negara (BUMN), Pertamina harus bisa mengikuti apa yang telah ditugaskan pemerintah. Terlebih lagi, penugasan tersebut diberikan demi kepentingan masyarakat.‎‎

"Pertamina itu lembaga negara, patuh pada pemerintah dengan arah politik pembangunan Presiden. Pertamina harus melayani pemerintah yang saat ini pro pemerataan pembangunan," ungkap dia.‎‎‎

Sementara itu, terkait potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 19 triliun yang dialami Pertamina, Eva menyatakan hal tersebut bukan lantaran adanya penugasan dari pemerintah. Untuk mengetahui penyebabnya, diperlukan audit di internal perusahaan pelat merah ini.‎

"Bagusnya berbasis data temuan auditor, BPK, internal auditor sehingga basisnya adalah tindak lanjut temuan. Investigasi khusus bisa disarankan setelah ada temuan awal tersebut (potensi kehilangan pendapatan). Supaya evaluasi tupoksi sebagai BUMN juga jadi kajian sehingg rekom bisa dikaitkan QPI (Quality Performance Indicators)," tandas dia.