Sukses

HET Tak Efektif Turunkan Harga Beras

Ada risiko pencampuran beras berkualitas tinggi dengan beras berkualitas rendah demi menghindari kerugian.

Liputan6.com, Jakarta - Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif menurunkan harga beras. Kebijakan ini menempatkan pedagang eceran sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menjaga harga beras.

Padahal panjangnya mata rantai distribusi membuat harga beras sudah lebih mahal sebelum sampai di tangan pedagang eceran.

Berdasarkan penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), sejumlah pedagang beras eceran di pasar-pasar tradisioanal di Jakarta mengeluhkan kebijakan HET.

Hal ini dikarenakan mereka harus membayar lebih mahal daripada HET untuk beras yang mereka dapatkan dari pedagang grosir. Akhirnya mereka tidak bisa mendapatkan keuntungan.

Kepala Bagian Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi mengatakan, ia mengkhawatirkan adanya risiko pencampuran beras berkualitas tinggi dengan beras berkualitas rendah demi menghindari kerugian.

Selain itu, ada biaya yang harus ditanggung pada pedagang eceran saat bertransaksi dengan pedagag grosir, seperti biaya transportasi dan upah tenaga kerja. Biaya tambahan ini juga tidak diperhitungkan pemerintah saat menetapkan HET beras.

“Intervensi pasar yang dilakukan pemerintah melalui HET sudah mendistorsi permintaan dan penawaran di pasar. Kalau hal ini dibiarkan, kami mengkhawatirkan akan terjadi kelangkaan beras,” ujar Hizkia.

Sejak bulan Mei 2009 hingga Mei 2017, harga beras di Indonesia memiliki trayektori yang berbeda dibandingkan dengan harga beras di pasar internasional.

Pada Mei 2009, keduanya masih sebanding di angka Rp 6.641 per kilogram (Indonesia) dan Rp 5.546,77 per kilogram (internasional). Sementara pada bulan yang sama di 2017, harga beras di Indonesia berada di angka Rp 13.125 dan harga beras impor berada di angka Rp 5.609,28.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Kata BPS

Sebelumnya, penetapan HET beras per 1 September 2017 tidak otomatis menurunkan harga jual beras di tingkat eceran. Badan Pusat Statistik (BPS) justru mencatat terjadi kenaikan harga gabah di tingkat petani, beras di tingkat penggilingan, di tingkat grosir maupun di tingkat eceran.

Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengungkapkan, terjadi kenaikan harga rata-rata Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat petani pada bulan kesembilan ini dibanding Agustus 2017.

Peningkatan harga rata-rata GKP 3,22 persen dari Rp 4.509 per Kilogram (kg) menjadi Rp 4.655 per kg. Sementara harga GKG naik 0,58 persen dari Rp 5.471 per kg pada Agustus 2017 menjadi Rp 5.502 setiap kilonya di September ini.

Sedangkan di tingkat penggilingan, harga GKP naik 3,31 persen dari Rp 4.591 per kg menjadi Rp 4.744 per Mau Cari Untung, Ini Akal-akalan Pedagang Beras dari Aturan HET di periode Agustus terhadap September. Untuk harga jual GKG menjadi Rp 5.590 per kg di September atau naik 0,21 persen dibanding Rp 5.579 per kg di Agustus 2017.

"Kenaikan harga GKG di tingkat petani lebih tinggi dibanding tingkat petani, saya kurang tahu persis jawabannya. Berbagai kemungkinan, panen kan mulai turun sehingga jumlahnya turun dibanding sebelumnya. Apakah karena ini atau petani masih punya stok GKG-nya," terang Kecuk di kantornya, Jakarta, Senin (2/10/2017).

Kecuk lebih jauh menjelaskan, harga beras medium di September 2017 di penggilingan sebesar Rp 8.935 per kg atau naik 1,27 persen dibanding Agustus 2017. Dia menyebut, harga beras premium di tingkat penggilihan naik 0,36 persen menjadi Rp 9.471 per kg di bulan kesembilan, harga beras medium naik 1,27 persen menjadi Rp 8.935 per kg, dan harga beras kualitas rendah naik 2,80 persen menjadi Rp 8.672 per kg.