Liputan6.com, Jakarta - Sanksi untuk pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerja-nya ke BPJS Ketenagakerjaan masih lemah. Alhasil, pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan masih minim.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Guntur Witjaksono mengatakan, penegakan hukum yang bisa dilakukan BPJS Ketenagakerjaan hanya sebatas sanksi administratif.
Baca Juga
"Ini salah satu poin, di Undang-undang BPJS Ketenagakerjaan, Kesehatan juga punya hak penegakan hukum law enforcement, tapi cuma sampai administratif. Kalau namanya wajib itu kita bisa tindakan sanksi pelayanan publik misalnya cabut SIUP tapi yang mencabut bukan kita, dinas setempat. Komitmen pemda juga belum, secara nasional Enggak mudah orang ikut asuransi wajib tapi sanksinya enggak keras," jelas dia di Jakarta, Senin (26/11/2017).
Advertisement
Kondisi itu, lanjut dia, berbeda dengan negara maju seperti Jepang. Di sana, sanksi yang diberikan bahkan sampai penyitaan aset.
"Beda dengan negara sudah maju, di Jepang saya pernah diskusi ada karyawan sakit kecelakaan kerja, obatin dulu aja. Punya kartu enggak kartu tarik rumah sakit. Begitu waktu dikonfirmasi balik ke perusahaan tapi enggak sertakan langsung sita semua asetnya menutup itu," ujar dia.
Namun, dia mengatakan, untuk mewujudkan hal itu bukan hal mudah untuk dorong perusahaan daftarkan pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan. Terlebih, perusahaan-perusahaan tengah didorong untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Saya kira memerlukan sedikit political will karena mungkin bisa saja perusahaan kaget, chaos, karena kita juga perusahaan didorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, tapi sebenarnya norma-norma ketenagakerjaan harus diikuti," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Peserta BPJS Ketenagakerjaan Masih Minim
Sebelumnya jumlah tenaga kerja yang tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan masih minim. Padahal, kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan penting untuk perlindungan pekerja.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Guntur Witjaksono mengatakan, penyebab masih sedikitnya peserta karena banyak pekerja belum mengenal BPJS Ketenagakerjaan. Dia menyebut, dari sekitar 112 juta angkatan kerja, baru 25 juta peserta BPJS Ketenagakerjaan.
"Pasti saya yakin (belum kenal), saya sering masalah masuk complain ketanagerjaan ke BPJS Kesehatan," kata dia di Hotel Fairmont Jakarta, Senin 27 November 2017.
Bukan hanya itu, dia mengakui, program BPJS Ketenagakerjaan tidak mudah dipahami masyarakat atau pekerja. Semisal, BPJS Ketenagakerjaan memiliki Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Program tersebut ditujukan untuk pekerja yang mengalami kecelakaan. Dengan program tersebut, pekerja akan mendapat perawatan dan pengobatan.
Di BPJS Kesehatan pun juga memiliki program penyembuhan untuk masyarakat. Alhasil, masyarakat cenderung hanya terdaftar pada satu BPJS.
"Memang produknya tidak mudah dimengerti masyarakat oleh pekerja. Misalnya JKK sama jaminan kesehatan BPJS Kesehatan. Sama-sama sakitnya, ikut saja satu," ujar dia.
Padahal, dia mengatakan, program BPJS Ketenagakerjaan memiliki manfaat lain. "Misalnya meninggal karena kecelakaan kerja itu bisa 48 gaji dan sebagainya, kalau mereka enggak ada," sambungnya.
Di samping itu, penyebab lain ialah kesadaran masyarakat akan asuransi masih rendah. Dia menuturkan, masyarakat masih cenderung menunda keikutsertaan pada asuransi.
"Terutama pekerja mandiri, kalau penerima upah dalam company bisa dijelasin manajemen SDM-nya," kata dia.
Advertisement