Sukses

Pendapatan Hilang Rp 19 Triliun, Pertamina Minta Harga BBM Naik

Pertamina mengaku ada potensi kehilangan pendapatan Rp 19 triliun karena tidak ada kenaikan harga BBM sejak akhir 2016

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) menjelaskan secara gamblang mengenai potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 19 triliun dari penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) penugasan pemerintah. Desakan supaya pemerintah menaikkan harga BBM, khususnya Premium dan Solar pun tak terbendung lagi.

Sekretaris Perusahaan Pertamina, Syahrial Mukhtar mengungkapkan, selepas rezim subsidi BBM berakhir, pemerintah mengelompokkan BBM menjadi tiga bagian, yakni pertama, Jenis BBM Tertentu (JBT) terdiri dari minyak tanah (subsidi penuh) dan Solar (subsidi tetap Rp 500 per liter).

Kedua, Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), yakni BBM jenis Premium di luar Jawa, Madura, Bali (Jamali) dengan harga diatur pemerintah sesuai harga pasar dan dievaluasi per tiga bulan. Ketiga, Jenis BBM Umum (JBU) meliputi BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, Pertalite, dan lainnya.

"Sejak itu (pengelompokan) diterapkan 2015, sejak akhir 2016 sampai sekarang harga jual JBKP dan JBT tidak disesuaikan pemerintah," tegas Syahrial saat berkunjung ke kantor Liputan6.com, Jakarta, Selasa (28/11/2017).

Sementara harga minyak dunia, ia mengakui, terus merangkak naik sehingga semestinya diikuti dengan kenaikan harga BBM Premium dan Solar. Untuk diketahui, harga jual Premium saat ini Rp 6.450 per liter (di luar Jamali) dan Solar Rp 5.150 per liter. Sementara harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah naik 30 persen sepanjang sembilan bulan ini.

"Kebayangkan selisihnya ditanggung Pertamina. Jadi sebenarnya masih ada subsidi pemerintah untuk Premium melalui Pertamina. Itu pakai uang kami semua," tutur Syahrial.

Dia menjelaskan potensi pendapatan Pertamina yang tersedot dari kenaikan harga minyak tanpa diiringi dengan kenaikan harga BBM mencapai Rp 19 triliun hingga kuartal III ini.

"Tapi Rp 19 triliun itu bukan rugi, melainkan potensi kehilangan pendapatan. Karena sampai kuartal III ini, kami masih untung (laba bersih) US$ 1,99 miliar. Kalau harga (BBM) disesuaikan, pasti pendapatan dan laba bertambah," tutur dia.

Menurut Syahrial, pendapatan dan laba penting mengingat perusahaan tengah membutuhkan investasi sangat besar. Dari catatannya, total kebutuhan pendanaan Pertamina mencapai US$ 119 miliar hingga 2025. Untuk investasi di hilir, diperkirakan mencapai US$ 40 miliar, salah satunya membangun kilang minyak untuk memproduksi BBM.

"Kilang minyak di Balikpapan contohnya yang mau groundbreaking, itu saja menyedot US$ 5,8 miliar atau Rp 70 triliun. Butuh duit banyak kan Pertamina, jadi pendapatan itu bisa digunakan untuk leverage pendanaan yang lebih besar," ujar dia.

Tonton Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Pertamina Tak Keberatan Jalani Program BBM Satu Harga

PT Pertamina (Persero) menegaskan akan menjalankan program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga dengan target 150 titik sampai 2019. Untuk membuat harga BBM di daerah terluar sama dengan di Jawa, Pertamina merogoh kocek Rp 3 triliun.

"Kami tidak pernah mengatakan keberatan menjalankan program BBM satu harga," kata Sekretaris Perusahaan Pertamina, Syahrial Mukhtar saat berkunjung ke kantor Liputan6.com, Jakarta, Selasa (28/11/2017).

Saat ini 29 titik atau daerah terluar di Indonesia sudah menikmati harga BBM sama seperti di Jawa, yakni Rp 6.450 per liter untuk Premium dan Solar Rp 5.150 per liter. Target hingga akhir tahun ini, program BBM Satu Harga bisa menjangkau 50 titik dan totalnya 150 titik sampai dengan 2019.

"Jadi harga BBM di daerah terluar tadi yang harganya mahal, dipastikan bisa sama dengan harga BBM di Jawa," tegas Syahrial.

Dirinya mengaku, untuk mengimplementasikan program BBM Satu Harga di 150 titik, Pertamina harus mengalokasikan anggaran sekitar Rp 3 triliun. Duit itu untuk biaya distribusi BBM hingga ke pelosok daerah yang menjadi target.

Lebih jauh Syahrial menjelaskan, sebenarnya prinsip dari program BBM Satu Harga adalah memperpanjang rantai distribusi. Dia mencontohkan, dalam pelaksanaan program ini, Pertamina harus menanggung biaya distribusi dari Jayapura ke Wamena yang sebelumnya bukan menjadi tanggung jawab Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.

"Dari Jayapura ke Wamena kan BBM diangkut pakai pesawat, itu yang kami tanggung supaya harga BBM di Wamena sama dengan di Jawa. Tapi kan ada lagi dari Wamena disalurkan ke daerah pegunungan, dan lainnya, jadi kalau harganya masih mahal atau ada daerah yang belum ter-cover masih bisa terjadi," jelas dia.