Sukses

RI Sulit Saingi Singapura soal Kemudahan Pasokan Listrik

Posisi kemudahan mendapatkan listrik di Indonesia ditargetkan naik ke peringkat 38. Target ini pun masih sulit menyaingi Singapura.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan, peringkat Indonesia dalam kemudahan mendapatkan pasokan listrik lompat 11 peringkat ke posisi 38 pada 2018. Namun demikian, belum dapat menandingi Singapura yang berada di peringkat 6, berdasarkan laporan Bank Dunia 2016. 

Sekretaris Direktorat Jenderal Kementerian ESDM, Agoes Triboesono mengatakan, berdasarkan survei tingkat kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) 2017 yang dirilis Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat 91 atau naik signifikan dari tahun posisi sebelumnya 106.

"Ini ‎survei Bank Dunia, bagaimana mudahnya berbisnis di Indonesia," kata Agoes dalam diskusi Forum Merdeka Barat di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Kamis (30/11/2017).

Menurut Agoes, salah satu indikator peringkat EoDB Indonesia meningkat karena kemudahan mendapatkan listrik. Peringkat Indonesia dalam mendapatkan listrik naik dari posisi 61 pada 2016 menjadi 49 pada 2017.

Dia menargetkan, kemudahan dalam mendapatkan listrik di Indonesia terus membaik, sehingga pada tahun depan bisa mencapai posisi 38. Artinya, lompat 11 peringkat dari target 2017.

"Alhamdulillah 2017 ini lebih baik, mudah-mudahan 2018 lebih baik lagi," terangnya.

Lebih jauh Agoes menilai, meski berambisi mencatatkan kenaikan peringkat, Indonesia tidak akan bisa menyalip Singapura. Pasalnya, kondisi geografis Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan wilayah yang luas, jauh lebih sulit dalam memenuhi kebutuhan listrik dibanding Singapura.

"Kita masih kalah dengan Singapura, Brunei dan Vietnam. Target kemudahan mendapat listrik ke posisi 38 di 2018, tapi susah kalahkan Singapura. Singapura negara kecil ‎kayak Jakarta, kalau Indonesia kepulauan," tutupnya.

Tonton Video Pilihan Ini

2 dari 2 halaman

Bank Dunia Ungkap Sebab Kemudahan Bisnis RI Bisa Naik Peringkat

Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo A Chaves, membuka rahasia keberhasilan Indonesia menaikkan peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) menembus peringkat ke-72 pada 2018.

Kenaikan peringkat ini merupakan laporan terbaru Kelompok Bank Dunia Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs. Posisi Indonesia naik 19 tingkat dibanding posisi ke-91 pada 2017.

“Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan di beberapa wilayah yang diukur oleh Doing Business. Dengan telah mengadopsi 39 indikator reformasi Doing Business selama 15 tahun, Indonesia merupakan salah satu dari 10 reformer teratas dunia,” kata Chaves dalam siaran persnya, seperti mengutip laman Sekretariat Kabinet, Kamis (9/11/2017).

Menurut Chaves, selama dua tahun berturut-turut, Indonesia telah melakukan tujuh reformasi, yang merupakan jumlah reformasi tertinggi dalam satu tahun. Ia memuji tekad pemerintah untuk memperbaiki iklim usaha di Indonesia.

“Melanjutkan momentum dan upaya memperluas reformasi yang mengikutsertakan keterbukaan dan persaingan, merupakan kunci untuk menstimulasi lebih jauh lagi sektor swasta di negara ini,” Chaves menegaskan.

Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia itu mengemukakan, reformasi yang telah dilakukan di Jakarta dan Surabaya, dua kota yang diukur oleh laporan ini, pada tahun lalu adalah sebagai berikut.

Biaya memulai usaha dibuat lebih rendah dengan penurunan dari sebelumnya 19,4 persen menjadi 10,9 persen pendapatan per kapita.

Kemudian biaya mendapatkan sambungan listrik dibuat lebih murah dengan mengurangi biaya sambungan dan sertifikasi kabel internal. Biaya untuk mendapatkan sambungan listrik kini 276 persen dari pendapatan per kapita, turun dari 357 persen.

Di Jakarta, dengan proses permintaan untuk sambungan baru yang lebih singkat, listrik juga didapatkan dengan lebih mudah.

Akses perkreditan ditingkatkan dengan dibentuknya biro kredit baru.

Perdagangan lintas negara difasilitasi dengan memperbaiki sistem penagihan elektronik untuk pajak, bea cukai, serta pendapatan bukan pajak. Akibatnya, waktu untuk mendapatkan, menyiapkan, memproses, dan mengirimkan dokumen saat mengimpor turun dari 133 jam menjadi 119 jam.

Pendaftaran properti dibuat lebih murah dengan pengurangan pajak transfer, sehingga mengurangi biaya keseluruhan dari 10,8 persen menjadi 8,3 persen dari nilai properti.

Hak pemegang saham minoritas diperkuat dengan adanya peningkatan hak, peningkatan peran mereka dalam keputusan perusahaan besar, dan peningkatan transparansi perusahaan.