Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) dinilai perlu terus menjalankan program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga, meski perusahaan plat merah tersebut tengah menghadapi potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 19 triliun.
Pengamat Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, potensi kehilangan pendapatan yang dialami Pertamina bukan disebabkan penugasan pemerintah dengan menjual Premium dan program BBM Satu Harga.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau kehilangan pendapatan disebabkan tidak dinaikkannya harga BBM Premium. Sebab pemerintah juga tidak menaikkan harga BBM premium sepanjang 2016," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (1/12/2017).
Selain itu, lanjut dia, penugasan pemerintah soal BBM Satu Harga juga dinilai bukan sebagai penyebab hilangnya pendapatan Pertamina. "Kalau begitu, nanti kebijakan BBM Satu Harga akan selalu menjadi kambing hitam, manakala pendapatan Pertamina mengalami penurunan," ungkap dia.
Menurut Fahmy, pada masa lalu, peningkatan laba Pertamina juga bukan dikontribusi dari kenaikan harga Premium, melainkan efisiensi yang dilakukan oleh manajemen di dalamnya. Oleh sebab itu, Pertamina saat ini juga perlu melakukan efisiensi di internal perusahaan.
"Peningkatan laba Pertamina itu bukan berasal dari peningkatan pendapatan penjualan, tetapi lebih dipicu oleh efisiensi besar-besaran‎," tandas dia.
Â
Efisiensi Pertamina
Diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan meminta Pertamina untuk melakukan efisiensi terhadap model bisnisnya, terutama dalam hal distribusi bahan bakar minyak (BBM).
Jonan mencontohkan, dalam menjual BBM jenis Premium yang merupakan penugasan dari pemerintah, Pertamina mulai mengeluh karena tidak mendapatkan untung. Hal ini salah satunya disebabkan oleh harga minyak mentah yang mulai mengalami kenaikan.
"Pertamina jual Rp 6.450 (Premium) ini sudah mulai teriak karena harga minyak mentahnya naik terus," ujar dia di Jakarta, Kamis 23 November 2017 lalu.
Padahal ada perusahaan baru yaitu Vivo yang juga menjual BBM RON-nya tidak jauh berbeda dengan dari Premium bahkan dengan harga yang lebih murah, namun mengaku masih mendapatkan keuntungan.
"Kalau kita lihat penjualan BBM yang RON 88 itu hargnya ditetapkan pemerintah Rp 6.450. Ada perusahaan swasta buka SPBU, baru satu, tapi nanti dia akan buka di Serang, Ambon, terus ke timur dan sebagainya. Itu jualnya harganya RON 89 itu Rp 6.100. Lah ini yang baru masuk Rp 6.100 nggak apa-apa. Saya tanya masih untung nggak? Masih," kata dia.
Menurut Jonan, hal ini membuktikan jika selama ini Pertamina belum efisien dalam menjalankan bisnisnya. Padahal, jika bisa lebih efisien, dirinya yakin Pertamina akan mendapatkan untung yang lebih besar.
"Ini harus lebih efisien lagi, bisnis modelnya Pertamina dalam distribusi bensin. Ada yang bilang itu kan cuma 1-2 SPBU (Vivo). Lah 1-2 ini justru cost-nya lebih besar, daripada 5.000-6.000 SPBU‎," ungkap dia.
Advertisement