Liputan6.com, Jakarta Peraturan Daerah (Perda) Bogor Nomor 12/2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang melarang pemajangan produk rokok di tingkat ritel, masih terus menuai pro dan kontra.
Sejumlah kalangan mendesak agar Pemkot dan DPRD Kota Bogor bersikap bijak dalam merumuskan perda tersebut hingga tidak merugikan pihak-pihak berkepentingan.
Pengamat Ekonomi STIE Kesatuan Syaifuddin Zuhdi menilai, menanggapi kebijakan KTR di Bogor harus dilihat secara keseluruhan, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.
Advertisement
Baca Juga
“Salah satunya soal pelarangan pemajangan produk rokok. Pemerintah harus menyikapi ini dengan arif dan bijaksana,” ujar dia, Senin (4/12/2017).
Dia mengatakan, aturan ini eksesif karena Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan masih memperbolehkan pemajangan produk rokok di tingkat ritel.
Perda kawasan tanpa rokok, yang kedudukan hukumnya lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu peraturan pemerintah.
Saat ini, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Rubaeah mengatakan, pihaknya sedang mengkaji 40 butir usulan revisi Perda KTR.
Dia memastikan revisi tersebut tidak untuk meringankan larangan dalam perda, melainkan untuk lebih menguatkan dan mengembangkan larangan peredaran dan konsumsi rokok.
Rubaeah menambahkan, poin-poin yang diajukan dalam Rancangan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok adalah memasukkan shisha dan rokok elektrik sebagai rokok (ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah).
Kemudian meniadakan asbak atau sejenisnya pada tempat yang termasuk area KTR (ayat [5] Pasal 6 diubah), serta menambahkan tempat-tempat umum lainnya yang ditetapkan dengan Keputusan Walikota sebagai area KTR (Ketentuan ayat [2] Pasal 7 diubah).
Revisi Perda juga menghapus Ketentuan ayat (4) Pasal 8 karena sudah diatur di Perda Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reklame, menjelaskan definisi batasan area merokok “di luar pagar” (ayat [3] Pasal 10 , 11, 13, 14, 15 diubah), dan menambahkan setiap orang yang melanggar di TTU terancam pidana (Ketentuan ayat [1] dan ayat [4] Pasal 33 diubah).
Terkait hal ini, Syaifuddin menilai Pemkot Bogor harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan industri hasil tembakau terkait proses pembahasan ini.
Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan bersifat adil, tidak semata-mata didasarkan sentimen terhadap industri tertentu, termasuk orang yang terlibat di dalamnya, seperti pedagang ritel, pekerja pabrik, bahkan petaninya.
Pemkot Bogor juga perlu melihat apakah konteks ini akan berpengaruh pada reaksi masyarakat. Jangan-jangan di Bogor dilarang, tetapi sebenarnya secara aturan nasional tidak dilarang sehingga masyarakat bisa membelinya di luar.
"Jadi jangan sebelah pihak memutuskan peraturan di masyarakat. Itu (melibatkan semua stakeholder) harus. Kalau tidak begitu, peraturannya ketika diterapkan tidak akan berjalan baik," dia menandaskan.