Liputan6.com, Jakarta - PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum menargetkan untuk bisa menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penghasil Alumunium terbesar di Asia. Untuk mencapai hal itu, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, salah satunya dalam hal kemandirian bahan baku.
Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia Inalum Carry EF Mumbunan mengatakan, persoalan bahan baku, saat ini Inalum bekerjasama dengan anggota holding tambang lainnya, PT Antam (Persero) Tbk tengah mengembangkan pabrik Alumina di Mempawah, Kalimantan Barat.
Kerja sama dengan Antam, dikarenakan mereka yang memiliki bahan baku alumina yaitu bauksit. Dengan demikian nantinya Inalum akan menjadi konsumen utama pabrik yang akan dibangun di Mempawah tersebut.
Advertisement
Baca Juga
"Kami itu setiap tahun mampu produksi 260 ribu ton per tahun, dimana untuk menghasilkan itu butuh lebih dari 500 ribu ton alumina. Nah bahan alumina itu Bauksit dan Antam itu penghasilnya, jadi kebutuhan kita akan mandiri," kata Carry di Kuala Tanjung, Selasa (5/12/2017).
Dipaparkannya, dengan terbentuknya holding BUMN tambang ini, maka diperkirakan pembangunan pabrik alumina berkapasitas 1 juta ton per tahun ini dapar selesai lebih cepat.
"Saat ini sedang proses feasibilty study dan kita harapkan segera selesai, jadi pabrik ini bisa beroperasi sekitar 2020-2021," tegasnya.
Untuk pembangunan pabrik ini, membutuhkan investasi sekitar US$ 670 juta. Adapun dengan kapasitas yang terpasang, nantinya Inalum tidak lagi mengimpor bahan baku dari Australia dan India.
Semenjak pabrik ini didirikan jaman kepemimpinan Presiden Soeharto, bahan baku produksi alumunium selalu diimpor dari Australia. Namun seiring berkembangnya isu antara kedua negara Inalum mencoba mengambil opsi dengan juga membeli dari India.
"Kalau pabrik kita di Mempawah jadi, kita akan putus semua impor itu, jadi kita lebih efisien, tidak perlu takut isu yang berkembang antara ke dua negara," tutupnya.Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Holding BUMN Tambang
Sebelumnya, Menteri BUMN Rini M Soemarno resmi menandatangani akta pengalihan saham seri B yang terdiri atas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65 persen, PT Bukit Asam Tbk sebesar 65,02 persen, PT Timah Tbk sebesar 65 persen, serta 9,36 persen saham PT Freeport Indonesia yang dimiliki pemerintah kepada PT Inalum (Persero) dalam rangka penambahan penyertaan modal negara ke dalam modal perseroan.
Dengan ditandatanganinya akta tersebut, holding BUMN tambang resmi berdiri dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang menjadi induk perusahaan (holding) BUMN Industri Pertambangan, serta PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk, menjadi anak perusahaan (anggota holding).
"Proses holding yang sudah lama dimulai dengan penyerahan roadmap pengembangan BUMN oleh Kementerian BUMN ke Komisi VI DPR pada akhir 2015 ini akhirnya telah mendekati akhir. Selanjutnya akan dilakukan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Antam, Bukit Asam, dan Timah secara bersamaan dengan agenda melakukan perubahan anggaran dasar sehubungan dengan telah beralihnya kepemilikan RI kepada PT Inalum (Persero) yang sahamnya 100 persen dimiliki negara," kata Rini dalam keterangan tertulis, Selasa (28/11/2017).
Rini menjelaskan, proses komunikasi dengan Komisi VI sudah intensif, baik melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rapat Kerja, maupun beberapa kali Focus Group Discussion (FGD).
Selain itu, setelah terbit PP No 47 Tahun 2017, kemudian dilanjutkan dengan proses administrasi termasuk akta pengalihan saham yang telah ditandatangani. Persetujuan holding BUMN tambang akan dibawa ke RUPSLB Antam, Bukit Asam, dan Timah secara bersamaan pada 29 November 2017 di Jakarta.
Meski statusnya berubah, ketiga anggota holding itu tetap diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal-hal yang sifatnya strategis. Dengan begitu, negara tetap memiliki kontrol terhadap ketiga perusahaan itu, baik secara langsung melalui saham dwi warna, maupun tidak langsung melalui PT Inalum (Persero) seperti diatur dalam PP 72 Tahun 2016.
Advertisement