Sukses

Petani Meradang Impor Tembakau Dibatasi

Sejak 2013, rata–rata produksi tembakau di Indonesia selalu di bawah 200 ribu ton per tahun.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) berencana menggelar pertemuan nasional menyusul terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau.

Dalam pertemuan yang dihadiri para pimpinan daerah tersebut, mereka akan mengkritisi peraturan yang berpotensi menurunkan produktivitas industri hasil tembakau.

"Ketika ada aturan yang mengakibatkan turunnya produksi rokok, yang terkena dampaknya pertama kali adalah 1,5 juta petani cengkih. Cengkih adalah bahan bakunya rokok kretek. Sekitar 93 persen produktivitas cengkih diserap oleh industri hasil tembakau," kata Sekretaris Jenderal APCI, I Ketut Budiman, di Jakarta, Kamis (7/12/2017).

Aturan impor tembakau ini dinilai tidak tepat karena diberlakukan ketika Indonesia masih mengalami defisit tembakau. Sejak 2013, rata–rata produksi tembakau di Indonesia selalu di bawah 200 ribu ton per tahun. Sementara, jumlah permintaan lebih dari 300 ribu ton tembakau per tahun.

Budiman menambahkan, selain petani cengkih, tenaga kerja pabrikan juga akan merasakan dampak negatif dari aturan tersebut. Pasalnya, jika pabrikan rokok mengalami kekurangan pasokan tembakau pasti ada pengurangan kapasitas produksi.

"Jadi, jelas ini ketentuannya menurut kita apes-lah," katanya.

Budiman kembali mengingatkan pemerintah bahwa ada banyak pihak yang terlibat dalam industri hasil tembakau. Maka itu, pemerintah perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan industri ini.

Ia mengaku bahwa asosiasi petani cengkih tidak pernah dimintai pendapatnya ketika aturan ini dibuat. "Tidak ada pemanggilan... Ini sangat kita sayangkan," keluhnya.

 

Tonton Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Perkecil Industri

Sementara itu, Sekretaris Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi), Suhardjo, mengatakan, peraturan ini telah memperkecil industri rokok nasional.

Ia mengingatkan jika beberapa jenis tembakau yang dibutuhkan industri memang tidak dapat tumbuh di Indonesia. "Intinya, ini membuat kita semakin tidak nyaman bekerja," kata Suhardjo.

Ia juga mengkritisi aturan yang mewajibkan pelaku usaha yang melakukan impor tembakau untuk mengikuti pelaksanaan verifikasi oleh surveyor yang mana biayanya dibebankan pada pelaku usaha.

Pasal tersebut mengamanatkan adanya verifikasi atau penelusuran teknis dari setiap pelaksanaan impor tembakau oleh surveyor yang ditetapkan Menteri Perdagangan. Biaya atas pelaksanaan verifikasi kemudian dibebankan pada industri.

"Ini berarti kita belum bergerak, sudah dikerjain dulu. Jadi kan ini kita jadi tidak bisa kerja," dia menjelaskan.