Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) menegaskan hingga kini tidak mengakui segala macam transaksi dengan menggunakan virtual account, kecuali penggunaan rupiah. Hal ini kembali ditegaskan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang penyelenggaraan teknologi finansial.
Direktur Eksekutif Departemen Hukum Bank Indonesia Rosalina Suci menegaskan, virtual account yang dimaksud termasuk penggunaan bitcoin sebagai alat pembayaran.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi industri start up atau teknologi finansial, tidak menggunakan bitcoin sebagai sarana transaksi atau sebagai alat penghitung transaksi,"Â jelas dia di Gedung Bank Indonesia, Kamis (7/12/2017).
Dengan demikian, Suci menegaskan, kalaupun ada yang menggunakan bitcoin sebagai sarana transaksi, BI tidak bisa bertanggung jawab.
Namun demikian, melihat semakin maraknya pembayaran dengan virtual account tersebut, BI mengkaji kemungkinan mengatur batas-batas transaksi bitcoin.
"(Bitcoin) Sebagai objek transaksi itu belum diatur, misalnya kita beli mobil dengan menggunakan empat bitcoin, itu tidak boleh. Namun kita terus pelajari dan kita kaji, kemungkinan ke depan kita akan jadikan itu sebagai objek untuk bisa diatur," tegas dia.
Seperti diketahui, Nilai mata uang digital bitcoin terus melonjak. Berdasarkan indeks CoinBase, nilai bitcoin melewati US$ 14.000 atau sekitar Rp 189,66 juta (asumsi kurs Rp 13.547 per dolar Amerika Serikat). Sebelumnya bitcoin sempat sentuh level US$ 12.000. Nilai bitcoin tembus US$ 14.000 itu ditembus dalam tempo 24 jam.
Mengutip laman CNBC, Kamis (7/12/2017), konon sering kali ada perbedaan harga pada pertukaran bitcoin.
CoinDesk, sebuah situs spesialis bitcoin dan mata uang digital lainnya tidak menunjukkan nilai bitcoin yang melintasi hingga US$ 14.000 hingga pukul enam sore waktu setempat, dan akhirnya diperdagangkan di US$ 14.000.
Kini nilai kapitalisasi pasar bitcoin mencapai US$ 230 miliar. Nilai itu merupakan total dari 20 saham terbesar di indeks S&P 500.
Sebelumnya mata uang digital bitcoin di bawah US$ 1.000 dan imbal hasilnya meningkat seiring minat investor tumbuh. Selain itu, sejumlah bursa berjangka pun berniat meluncurkan aset bitcoin berjangka.
CBOE Global Markets yang berbasis di Chichago berencana meluncurkan bitcoin futures pada Minggu ini. Kemudian bursa berjangka terbesar di dunia CME juga akan meluncurkan produk futures bitcoin.
Namun, banyak yang tetap kritis terhadap bitcoin. CEO JP Morgan Chase Jamie Dimon menyebutkan bitcoin sebuah "penipuan". Mantan manajer hedge fund Fortress Michael Novogratz juga mengatakan kalau bitcoin akan menjadi gelembung terbesar di pasar keuangan. Ia memprediksi, kalau bitcoin bisa mencapai US$ 40.000 pada akhir 2018.
Khawatir Bubble Ekonomi, Menkeu Minta Bitcoin Tak Jadi Spekulasi
Mata uang digital, seperti bitcoin di Indonesia sering kali digunakan untuk spekulasi. Kondisi ini memicu kekhawatiran Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati akan terjadinya gelembung (bubble) ekonomi yang dapat merugikan negara ini.
"Di Indonesia, harganya (mata uang virtual) makin tinggi dan dilirik sebagai salah satu bentuk investasi," ujar Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta Convention Center, Kamis (7/12/2017).
Baca Juga
Dia berharap, produk mata uang virtual seperti bitcoin tidak dijadikan sebagai ajang spekulasi yang akan membahayakan Indonesia. "Kami tidak berharap terjadi suatu spekulasi atau bubble sehingga menimbulkan kerugian," paparnya.
Oleh karena itu, pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menjaga dan mengawasi penggunaan mata uang virtual.
"Jadi proteksi mereka yang menggunakan barang tersebut (bitcoin), apakah sebagai investasi atau untuk tujuan lain harus tetap dalam konteks keamanan investasi dan sesuai rambu-rambu di bidang keuangan maupun mata uang," tutur Sri Mulyani.
Menurutnya, regulasi mata uang virtual merupakan wewenang dari BI apabila menyangkut mata uang yang formal di Indonesia. Namun jika berkaitan dengan alat pembayaran atau investasi, merupakan ranah OJK yang memberi izin terhadap suatu produk yang aman untuk investasi.
"Kalau (bitcoin) adalah suatu currency yang competting terhadap currency yang formal di Indonesia, itu adalah suatu yang harus di address bank sentral. Tapi kalau menyangkut alat pembayaran atau investasi, seharusnya OJK yang yang mengeluarkan (izin) itu safe bagi investasi," papar Sri Mulyani.
Â
Advertisement