Liputan6.com, Jakarta - Total iuran BPJS Ketenagakerjaan sudah mencapai Rp 50 triliun atau tumbuh 14,2 persen atau sudah capai 90 persen dari target tahunan pada akhir November 2017.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto yakin target iuran sebesar Rp 55 triliun akan tercapai akhir tahun.
"Kami sedang intensifkan upaya penagihan iuran bekerja sama dengan berbagai pihak, sehingga kami yakin target iuran akan tercapai," ujar Agus di acara penandatanganan nota kesepahaman "Sinergi Fungsi KBRI di Singapura dan BPJS Ketenagakerjaan untuk Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi Pekerja Migran di Singapura" di Singapura, Sabtu, (9/12/2017), seperti dikutip dari laman Antara.
Advertisement
Nota kesepamahaman ditandatangani oleh Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto, dan Duta Besar Luar Biasa Berkuasa RI untuk Singapura, I. Ngurah Swajaya, di KBRI Singapura dan dihadiri Sekjen Kemenaker Herry Sudarmanto dan undangan lainnya.
Baca Juga
Jumlah peserta perusahaan aktif yang tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sudah mencapai 445 ribu, atau tumbuh 23,7 persen dari capaian tahun lalu pada periode yang sama, dan telah mencapai 104,7 persen dari target yang ditetapkan.
Sementara itu, jumlah pekerja yang terdaftar telah mencapai 44,3 juta dengan peserta aktif mencapai 25,4 juta atau tumbuh 15,5 persen atau mencapai 100,8 persen dari target tahun 2017. Pembayaran klaim jaminan juga masih dalam anggaran yang ditetapkan, yang secara total mencapai 76,3 persen dari RKAT 2017.
Pada program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan klaim sebesar Rp 883,8 miliar untuk 112.490 kasus, sementara pada program Jaminan Kematian (JK) telah dibayarkan jaminan sebesar Rp 568,6 miliar dengan 20.557 kasus.
Pada Jaminan Hari Tua (JHT) tercatat pembayaran klaim terbesar di antara program lainnya yaitu mencapai Rp 18,2 triliun untuk pengajuan pencairan sebanyak 1,7 juta kasus. Meskipun baru dilaksanakan sekitar dua tahun, program Jaminan Pensiun (JP) juga sudah membayarkan klaim jaminan sebesar Rp49,5 miliar untuk 24.691 klaim.
Pengelolaan dana peserta yang dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan juga menunjukkan kinerja yang baik. Pada periode November 2017 ini, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan telah mencapai Rp 305 triliun atau tumbuh 22,2 persen. Raihan ini telah melampaui target manajemen pada RKAT 2017 sebesar Rp 296,9 triliun.
Dana kelolaan ini memberikan hasil investasi hingga mencapai Rp 24,5 triliun atau tumbuh 17 persen dan mencapai 98 persen dari target 2017. Yield on Investment (YOI) per November 2017 mencapai 9,49 persen.
Agus menyatakan, dengan kondisi perekonomian dan pasar yang semakin kondusif, maka target hasil investasi akan dapat terlampaui.
Pengelolaan aset investasi tersebut ditambah dengan aset non investasi yang berdampak pada total aset BPJS Ketenagakerjaan pada akhir November 2017 telah mencapai Rp 317 triliun.
"Semoga apa yang telah kami raih pada penghujung tahun 2017 ini akan terus tingkatkan dengan sejumlah strategi untuk menghadapi tahun 2018, di antaranya optimalisasi sistem keagenan dan peningkatan pemanfaatan teknologi informasi dalam akuisisi dan pelayanan," ujar Agus.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Â
Perlu Sanksi Keras agar Pengusaha Daftarkan Pekerja ke BPJS TK
Sanksi untuk pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan masih lemah. Alhasil, pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan masih minim.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Guntur Witjaksono mengatakan, penegakan hukum yang bisa dilakukan BPJS Ketenagakerjaan hanya sebatas sanksi administratif.
"Ini salah satu poin, di Undang-undang BPJS Ketenagakerjaan, Kesehatan juga punya hak penegakan hukum law enforcement, tapi cuma sampai administratif. Kalau namanya wajib itu kita bisa tindakan sanksi pelayanan publik misalnya cabut SIUP tapi yang mencabut bukan kita, dinas setempat. Komitmen pemda juga belum, secara nasional enggak mudah orang ikut asuransi wajib tapi sanksinya enggak keras," jelas dia di Jakarta, Senin 26 November 2017.
Kondisi itu, lanjut dia, berbeda dengan negara maju seperti Jepang. Di sana, sanksi yang diberikan bahkan sampai penyitaan aset.
"Beda dengan negara sudah maju, di Jepang saya pernah diskusi ada karyawan sakit kecelakaan kerja, obatin dulu aja. Punya kartu enggak kartu tarik rumah sakit. Begitu waktu dikonfirmasi balik ke perusahaan, tapi enggak sertakan langsung sita semua asetnya menutup itu," ujar dia.
Namun, dia mengatakan, untuk mewujudkan hal itu bukan hal mudah untuk dorong perusahaan daftarkan pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan. Terlebih, perusahaan-perusahaan tengah didorong untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Saya kira memerlukan sedikit political will karena mungkin bisa saja perusahaan kaget, chaos, karena kita juga perusahaan didorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, tapi sebenarnya norma-norma ketenagakerjaan harus diikuti," ujar dia.
Advertisement