Liputan6.com, Bogor - PT Pertamina (Persero) meminta pemerintah segera menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar seiring peningkatan harga minyak mentah dunia. Jika terus bertahan pada harga BBM saat ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berpotensi terus kehilangan pendapatan.
Harga minyak Amerika Serikat atau West Texas Intermediate (WTI) naik 67 sen atau 1,2 persen menjadi US$ 57,36 per barel. Harga minyak Brent mendaki US$ 1,2 atau 1,9 persen menjadi US$ 63,40 per barel.
Advertisement
Baca Juga
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Sri Soelistyowati berpendapat pemerintah saat ini terus menjaga laju inflasi agar sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Bahkan harapannya bisa mengarah di bawah 4 persen.
"Memang kalau harga BBM naik, pasti akan berpengaruh ke inflasi, tapi kita juga harus melihat harga BBM di negara lain, terutama negara tetangga. Kalau ada perbedaan terlalu jauh di sana tinggi, di sini murah, maka akan terjadi kebocoran atau penyelundupan," jelas dia di Bogor, Minggu (10/12/2017).
Pemerintah, sambung Sri, pasti akan mempertimbangkan banyak hal dalam mengambil sebuah kebijakan, termasuk soal harga BBM. Namun saat ditanyakan, apakah tahun ini atau tahun depan waktu yang tepat menaikkan BBM, dia enggan menjawabnya.
"Saya tidak tahu apakah tepat atau tidak. Yang pasti kalau spread terlalu jauh antara harga BBM kita dengan negara tetangga, bakal terjadi penyelundupan. Jadi kalau tidak naik harganya, pengawasan harus lebih diperketat," ucapnya.
Â
Selanjutnya
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, ‎dalam 9 bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) ‎naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barel.Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM.
"Harga ICP itu rata rata 9 bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata rata 9 bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan," ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Jika harga BBM tersebut dinaikkan, maka pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.
"Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan," kata dia.
Sekretaris Perusahaan Pertamina, Syahrial Mukhtar menjelaskan potensi pendapatan Pertamina yang tersedot dari kenaikan harga minyak tanpa diiringi dengan kenaikan harga BBM mencapai Rp 19 triliun hingga kuartal III ini.
"Tapi Rp 19 triliun itu bukan rugi, melainkan potensi kehilangan pendapatan. Karena sampai kuartal III ini, kami masih untung (laba bersih) US$ 1,99 miliar. Kalau harga (BBM) disesuaikan, pasti pendapatan dan laba bertambah," tutur dia.
Menanggapi permintaan itu, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengaku belum dapat memastikannya. Lantaran menaikkan harga BBM perlu konsultasi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Nanti saya lihat keseluruhan. Kalau itu permintaan Pertamina, saya lihat suratnya kalau sudah sampai ke saya, fakta-fakta yang mendukungnya. Dan dikonsultasi dengan Menteri ESDM dan bicara dengan Menteri BUMN," ujar Sri Mulyani di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (4/12/2017).
Ditanya lebih jauh apakah surat permintaan kenaikan harga BBM dari Pertamina sudah masuk ke mejanya, Sri Mulyani tidak menjawabnya. Untuk diketahui, harga jual Premium saat ini Rp 6.450 per liter (di luar Jamali) dan Solar Rp 5.150 per liter.
Advertisement