Liputan6.com, Jakarta Industri Perkebunan dinilai menjadi kekuatan dan penopang ekonomi nasional. Pada 2016 memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar Rp 429 triliun.
Pendapatan sektor perkebunan ini telah melebihi sektor minyak dan gas(migas) yang nilainya hanya Rp 365 triliun. Dari 127 komoditas perkebunan, hanya 15 komoditas saja yang menghasilkan devisa.
“Dari 15 komoditas tersebut, sumbangan terbesar berasal dari kelapa sawit yang mencapai Rp 260 triliun,” ujar Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang, Senin (11/12/2017).
Advertisement
Baca Juga
Menurutnya, perkebunan memberikan peran yang sangat penting bagi fundamental ekonomi bangsa Indonesia. “Dalam kondisi yang belum terurus dengan baik, perkebunan dapat memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara,” dia menjelaskan.
Dia menyebutkan, produktivitas kelapa sawit rata-rata nasional baru sekitar 2 ton per hektare (ha), padahal perusahaan sudah mencapai 8-10 ton/ha.
“Pemerintah berkomitmen meningkatkan daya saing perkebunan nusantara. Karena dari kondisi yang belum baik saja sudah memberi andil terbesar terhadap ekonomi, apalagi kalau mampu memperkuat danmemperbaikinya,” tutur dia.
Bambang mengajak semua komponen bangsa untuk ikut memperkuat komoditas perkebunan nasional di mata dunia. Sebab, banyak negara yang tidak menghendaki perkebunan di Indonesia maju.
“Untuk itu, kita harus siap mengawal perkebunan Indonesia agar bebas dari tekanan luar negeri,” ungkap dia.
Dia menambahkan, berbagai isu negatif menerpa komoditas sawit. Padahal sawit penyelamat hutan tropis dunia dan mengusahakan sawit dapat menghasilkan pangan maupun energi.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, perkebunan berperan sebagai sumber kemakmuran dan pemacu pembangunan wilayah terpencil.
“Daerah terpencil atau remote area mulai terbangun dari perkebunan. Sebab yang dapat membangun infrastruktur, komunitas sosial dan ekonomibaru berasal dari pengembangan tanaman perkebunan,” ujar Musdalifah.
Dia menuturkan, perkebunan juga menjadi sumber perekat bangsa karena mendekatkan anggota masyarakat yang hidup di wilayah jauh dari perkotaan maupun pedesaan.
RI Perjuangkan Komoditas Sawit
Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo menambahkan, Indonesia tidak gentar dengan resolusi sawit Uni Eropa, karena pasar ekspor sawit ke Uni Eropa hanya 15 persen dari total volume nasional.
“Apabila kita hentikan ekspor minyak sawit ke Eropa, saya yakin mereka akan kewalahan. Meskipun mereka mengakui impor sawit di Indonesia terus meningkatmencapai US$ 2 miliar,” katanya.
Menurutnya, resolusi sawit Uni Eropa adalah bukti bahwa antar negara tidak ada saling membantu. “Resolusi sawit Uni Eropa membuat rakyat Indonesia susah. DPR Indonesia telah minta kepada parlemen Uni Eropa untuk membatalkan resolusi tersebut,” katanya.
Pengamat politik J Kristiadi mengatakan persoalan sawit di pasar internasional adalah persoalan kepentingan. Negara maju menggunakan segala instrumen untuk menghambat sawit. Negara maju membuat akal-akalan dengan macam-macam skema sertifikasi.
“Antarnegara tidak ada pertemanan, yang ada persaingan. Sehingga Indonesia harus menggunakan keindonesiaan untuk memperjuangan sawit di kancah internasional,” kata Kristiadi.
Salah satunya, adalah dengan memperkuat dan meyakinkan pihak asing bahwa Indonesia sangat berkomitmen dalam melakukan praktik budidaya perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Ini dibuktikan dengan adanya sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO).
Di mana hingga saat ini jumlah sertifikasi ISPO yang telah diterbitkan adalah 346 dengan luas lahan 2.041.548,80 ha dengan total produksi CPO mencapai 8.757.839,40 ton.
Advertisement