Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan berjanji akan mengenakan barang-barang digital (digital goods) dengan tarif yang tidak akan membebani perusahaan maupun individu. Barang digital yang akan dipungut bea masuk, di antaranya perangkat lunak (software), buku elektronik (e-book) sampai film maupun mengunduh lagu-lagu di situs luar negeri.
"Software, e-book, film-film, download lagu dari (situs) luar negeri yang akan kena bea masuk. Dulu kan nonton film di XXI cukup pakai pita film yang diimpor dari luar negeri, tapi belakangan cuma ngunduh atau pakai software," jelas Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi DJBC, Deni Surjantoro saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (12/12/2017).
Dia mengaku, pemerintah masih menunggu hasil sidang WTO untuk menghitung besaran tarif pungutan bea masuk. Sidang tersebut berlangsung di Argentina dan diikuti DJBC maupun Kementerian terkait lain.
Advertisement
Baca Juga
Tujuannya untuk melakukan negosiasi atas penghentian sementara (moratorium) pengenaan perpajakan terhadap barang-barang digital ini. Dalam ketentuannya, moratorium berakhir pada 2017.
"Kami belum putuskan karena menunggu hasil dari sidang WTO, karena negara maju lain ada yang ingin meneruskan moratorium. Makanya kami sedang meyakinkan WTO dengan berbagai pertimbangan, salah satunya kesetaraan karena barang sejenis di dalam negeri sudah kena pajak, masa yang impor tidak," tegas Deni.
Dia berjanji, pemerintah tidak akan mengenakan tarif tinggi bea masuk atas barang-barang digital yang membebani perusahaan. Jadi barang-barang digital seperti software, e-book, film, dan lagu dari luar negeri yang diunduh di situs asing akan dikenakan bea masuk, PPN impor dan PPh Pasal 22 atas impor.
"Tarifnya akan diperhitungkan dan dikomunikasikan dengan stakeholder. Yang pasti tidak membuat perusahaan bangkrut atau tidak ada perdagangan lagi," terangnya.
Asal tahu, tarif bea masuk yang berlaku saat ini berkisar nol persen sampai 125 persen. Sedangkan tarif PPN impor yang dikenakan 10 persen, dan tarif PPh Pasal 22 atas impor barang rata-rata 2,5 persen dan 7,5 persen.
"Tarif bea masuk belum diputuskan, bisa 0,5 persen, 1 persen, atau 5 persen," ucap Deni.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jika disetujui
Jika disetujui WTO, sambung Deni, pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai payung hukum pungutan bea masuk atas barang-barang digital. Namun diakuinya, tidak akan dipukul rata, karena akan berlaku secara bertahap.
"Sistemnya kalau sudah ada PMK, tidak akan dihantam semua. Perusahaan-perusahaan besar yang selama ini memanfaatkan data atau barang-barang digital dari luar ini yang akan kena bea masuk. Kami sudah mendeteksi perusahaan besar yang punya kegiatan seperti itu," tuturnya.
Sementara untuk pengunduhan lagu maupun film di situs luar negeri, Deni bilang, itu adalah tahapan ke depan pemungutan bea masuk. " Itu ke depan lah, karena kami tidak ingin gebyah uyah, tidak sapu rata. Download lagu dari luar, tahapan berikutnya," ujarnya.
Lebih jauh dia mengungkapkan, pemerintah ingin segera memberlakukan pengenaan tarif bea masuk untuk barang-barang software, e-book, dan lainnya sesegera mungkin. Alasannya, jika direstui, aturan ini membutuhkan sosialisasi sehingga prosesnya akan berjalan panjang.
"Kami inginnya segera, sebab kalau disetujui WTO, prosesnya akan panjang karena butuh sosialisasi. Intinya kami bukan ingin semata-mata memperoleh penerimaan bea masuk dan pajak sebesar-besarnya, tapi supaya ada level playing field yang sama," Deni menerangkan tanpa menyebut potensi setoran dari pungutan bea masuk ini.
Advertisement