Sukses

Di Forum WTO, RI Usul Pajak E-Commerce

Tanpa pengenaan bea masuk dan pajak, perkembangan e-commerce dapat perlebar jurang pemisah antara bisnis konvensional dan e-commerce.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, World Trade Organization (WTO) akan mempertimbangkan usulan Indonesia mengenai penetapan bea masuk dan pajak atas barang dan jasa yang ditransaksikan dan ditransmisikan secara elektronik (e-commerce) atau pajak e-commerce.

Hal ini disampaikan di sela-sela Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-11 di Buenos Aires, Argentina.

"Pengenaan bea masuk dan pajak pada transaksi e-commerce, seperti yang diterapkan pada bisnis konvensional, akan menciptakan keadilan bagi kedua jenis bisnis ini. Dengan demikian, bisnis konvensional dapat bersaing dengan barang impor yang masuk melalui ranah digital," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Enggartiasto menuturkan, kondisi saat ini, harga barang impor dari transaksi e-commerce dapat dijual lebih murah dibanding barang lokal karena tidak membayar bea masuk dan pajak.

Di sisi lain, pelaku usaha konvensional dan UKM cukup sulit untuk bersaing dengan bisnis e-commerce karena memiliki kewajiban membayar bea masuk dan pajak, sehingga harganya lebih tinggi.

Jika usulan Indonesia tersebut disetujui, pelaku usaha konvensional terutama UKM akan memiliki kesempatan bersaing dengan barang impor dari segi harga. Skema ini akan menciptakan level persaingan yang setara (level playing field) antara bisnis konvensional dan bisnis digital.

Dalam forum perundingan (working session) di Buenos Aires ini, seruan Indonesia tersebut telah menjadi pertimbangan WTO. Selain itu, Enggartiasto dan Dirjen WTO Roberto Azevêdo juga telah bertemu untuk membahas hal tersebut.

Dalam pertemuan Enggartiasto dengan Dirjen WTO, dibahas jika barang dan jasa yang ditransaksikan dan ditransmisikan secara elektronik akan dipertimbangkan untuk dikenakan bea masuk secara sukarela (voluntary).

Pelaksanaan pengenaan itu nantinya dikembalikan ke masingmasing negara. Barang dan jasa yang dapat dikenakan bea masuk dan pajak misalnya buku digital (e-book), musik digital, jasa akuntansi, serta jasa arsitektur.

Sementara itu, jasa transmisi elektronik akan tetap dalam moratorium sehingga tidak akan dikenakan bea masuk dan pajak.

"Tanpa pengenaan bea masuk dan pajak, perkembangan e-commerce yang demikian pesat dapat memperlebar jurang pemisah antara bisnis konvensional dan bisnis yang mampu memanfaatkan e-commerce. Dikhawatirkan, pengusaha besar asing yang berbasis e-commerce akan melumpuhkan bisnis konvensional maupun bisnis kecil berbasis e-commerce di suatu negara,"kata Enggar.

Selain itu, WTO diimbau tidak mengabaikan potensi pendapatan negara dari sektor e-commerce. "Pengenaan bea masuk dan pajak dapat menjadi penerimaan negara yang signifikan bagi negara-negara berkembang," ungkap dia.‎

Di perundingan-perundingan sebelumnya, negara anggota WTO selalu menyepakati dilanjutkannya moratorium atas pengenaan bea masuk dan pajak barang dan jasa yang ditransaksikan dan ditransmisikan secara elektronik atau pajak e-commerce. Perpanjangan moratorium itu dilakukan setiap dua tahun atau sampai KTM WTO berikutnya.

"Pernyataan sikap Indonesia ini akan berkontribusi kepada aturan main perdagangan melalui e-commerce untuk menciptakan perdagangan yang adil," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Alasan Sri Mulyani Ingin Pungut Bea Masuk Softare hingga E-Book

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati berencana memungut bea masuk dari barang-barang tak berwujud (intangible goods) atau disebut barang-barang digital (digital goods). Saat ini, pemerintah sedang berjuang melobi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mengakhiri moratorium.

"Pernyataan Bu Menkeu jelas, kita akan mengenakan (bea masuk) untuk digital goods. Kita akan putuskan hasil akhirnya setelah sidang WTO selesai," tegas Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Deni Surjantoro saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa 12 Desember 2017.

DJBC Kementerian Keuangan bersama Kementerian terkait, seperti Kementerian Perdagangan tengah melakukan perundingan untuk meyakinkan WTO terhadap kebijakan bea masuk barang-barang digital, seperti jual beli software (perangkat lunak), e-book (buku elektronik), mengunduh film dan lagu di situs luar negeri, serta lainnya. Negosiasi atau lobi ini sedang berlangsung di Argentina.

"Selama ini kan kita belum pernah mengenakan bea masuk dan pajak impor atas digital goods ini. Jadi DJBC bersama kemeterian terkait lagi di Argentika untuk upaya lobi menjelaskan posisi kita terhadap moratorium supaya dibuka," Deni menjelaskan.

Untuk diketahui, moratorium atau penghentian sementara pengenaan perpajakan terhadap intangible goods oleh WTO secara elektronik akan berakhir pada 2017. Seharusnya otomatis mulai Januari 2018, moratorium sudah dicabut.

Akan tetapi, menurut Deni, ada keinginan dari negara maju untuk melanjutkan moratorium pungutan perpajakan atas barang-barang tersebut.

"Misalnya Freeport kirim software dari kantor pusat (AS) ke Indonesia dengan cara di download. Mereka menganggap business to business (B2B), tapi pemerintah mendukung saja," terangnya.

Sementara pemerintah Indonesia beralasan harus menciptakan kesetaraan atau level playing field yang sama antara barang-barang digital yang diperjualbelikan secara konvensional maupun online.

"Kan sudah berakhir di 2017, dan kita menganggap perlu ada kesetaraan antara perdagangan konvensional dan online. Barang-barang sejenis di dalam negeri sudah kena pajak, tapi kok yang dari luar negeri, malah tidak kita kenakan. Lagipula moratorium ini sudah lama," kata Deni.