Sukses

Pariwisata dan Ekonomi Digital, Sumber Ekonomi Baru buat Jakarta

BI menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta siapkan sumber ekonomi baru mengingat lahan makin terbatas dan biaya faktor produksi tinggi.

Liputan6.com, Solo - Keterbatasan lahan dan semakin tingginya biaya faktor produksi di Jakarta diprediksi mengerem pertumbuhan industri pengolahan di DKI Jakarta dalam jangka menengah.

Untuk itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) DKI Jakarta, Doni P Joewono menyarankan agar Pemprov DKI segera mempersiapkan sumber ekonomi baru. Dua sumber ekonomi baru yang potensial untuk mensubstitusi potensi kehilangan pendapatan adalah pariwisata dan ekonomi digital.

Ia mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta saat ini masih ditopang tiga sektor, yakni industri pengolahan/manufaktur, perdagangan, dan konstruksi. Pertumbuhan industri pengolahan disokong oleh produksi otomotif, farmasi, dan makanan minuman yang mencapai 8,1 persen.

Sedangkan sektor konstruksi meningkat karena adanya proyek pembangunan infrastruktur. Terakhir, sektor perdagangan meningkat karena didorong peningkatan perdagangan antardaerah.

"Jadi kenapa pertumbuhan industri pengolahan meningkat, tapi tidak berdampak pada ekspor secara signifikan adalah karena produknya diserap oleh pasar domestik. Itu yang menyumbang pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Triwulan III 2017 tumbuh 6,29 persen year of year. Lebih besar dari target 6,0 persen," Doni menjelaskan dalam kereta wisata menuju Solo, seperti ditulis Kamis (14/12/2017).

Meski begitu, pertumbuhan itu patut disikapi dengan langkah antisipatif. Doni memprediksi pertumbuhan sektor manufaktur bakal mengalami perlambatan seiring menyempitnya lahan dan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan, seperti upah pekerja. Apalagi, kenaikan UMP tiap tahun tidak diiringi oleh kenaikan produktivitas yang seimbang.

"Sekitar lima tahun ke depan, industri manufaktur akan bergeser (ke daerah lain) karena cost akan naik. Nah, kita ingatkan Pemerintah DKI untuk segera mencari sumber ekonomi baru, tapi bukan karena pertumbuhan sektor itu sekarang turun ya," ujar Doni.

Ia menyatakan, sektor ekonomi baru perlu digarap serius sejak sekarang karena baik sektor pariwisata maupun kreatif digital, membutuhkan waktu untuk benar-benar produktif. Potensi di bidang pariwisata, misalnya, terlihat dari pertumbuhan tingkat kunjungan wisatawan ke Jakarta berada di peringkat ke-5 di Asia yang mencapai 18,2 persen, di bawah Abu Dhabi yang mencapai 18,9 persen.

Namun, potensi itu belum dimanfaatkan maksimal jika merujuk data Global Destination City Index 2017. Jakarta bahkan tidak termasuk dalam 20 besar dunia, posisi pertama saat ini ditempati oleh Bangkok.

Padahal, pemerintah pusat memasukkan Kepulauan Seribu sebagai salah satu dari sepuluh destinasi wisata unggulan di Indonesia. Faktanya, kunjungan wisawatan ke wilayah itu baru 100 ribu orang dari target 1 juta pengunjung pada 2019.

Jakarta juga memiliki ikon Kota Tua yang bisa dioptimalkan untuk menggaet pengunjung. Begitu pula dengan keberadaan museum-museum di Jakarta. Jika digarap secara serius yang ditopang alokasi anggaran yang memadai, pertumbuhan sektor pariwisata itu diprediksi bisa meningkat antara 0,2-04 persen.

Selain itu, kendala lapangan yang menghambat sektor pariwisata juga wajib ditanggulangi dengan konsisten. BI memetakan setidaknya ada empat kendala prioritas yang harus diselesaikan, yaitu tingkat keamanan, jumlah destinasi wisata yang masih terbatas, belum ada tourism board yang memadai, dan belum adanya database yang memadai.

"Kontribusi pariwisata untuk PDRB DKI masih kecil, di bawah 1 persen. Tapi, industri pariwisata memang tidak seperti industri pengolahan yang terlihat jelas di BPS. Ke depan, kita harus cari pendekatan untuk menghitungnya," kata Doni.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Peluang Industri Digital Kreatif

Selain pariwisata, Jakarta juga memiliki potensi sumber ekonomi baru dari sektor industri digital kreatif. Yang termasuk dalam sektor ini adalah produksi animasi, video, dan film, serta game. Hal itu ditopang dengan jumlah studio animasi yang jumlahnya puluhan di Ibu Kota dan belasan akademi animasi.

Faktanya, pertumbuhan industri digital kreatif di Jakarta tak sepesat Bandung maupun Yogyakarta. Menurut Doni, hal itu disebabkan masalah sulitnya para pemain industri memperoleh pembiayaan dari perbankan, kualitas internet kurang memadai, dan dominasi asing.

Nyatanya, kendala itu dialami oleh sebagian besar pemain industri digital kreatif di Indonesia.

Ketua Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia (Ainaki), Ardian Elkana menyebut kontribusi perbankan bagi pengusaha industri digital kreatif masih nol. Pendanaan justru berasal dari angel investor atau bahkan kantong sendiri.

"Padahal, kalau di atas meja, kami punya IP (intelectual property), market dan network, serta production capacity," kata dia.

Dukungan pemerintah diperlukan untuk mengembangkan industri ini dari sisi permodalan, panggung, dan infrastruktur. Sejauh ini, kata Ardian, belum ada pemerintah yang berani menanamkan modal di industri yang terbilang berisiko tinggi itu. Padahal, lanjut dia, animasi itu bisa menjadi media promosi yang efektif jika dikerjakan dengan serius dan matang.

Selain itu, industri animasi adalah industri yang padat karya. Satu produksi saja bisa melibatkan ratusan tenaga kerja. Bahkan, Ardian menyebut kebutuhan SDM di bidang industri kreatif tahun ini antara 3.000-3.500 orang yang baru bisa difasilitasi Kemenaker sebanyak 1.500 orang.

"Saya punya pengalaman bekerja sama dengan Pemda Grand Canarias di Spanyol untuk mengerjakan serial animasi 26 episode. Grand Canarias itu adalah kepulauan yang terdiri dari tujuh pulau dekat wilayah Afrika, tetapi punya Spanyol. Setelah animasi itu tayang, investasi dari Jerman berhasil masuk," kata dia.

Ardian menerangkan, faktor risiko yang dikhawatirkan pemerintah bisa ditekan melalui beberapa hal. Pertama, perlindungan hukum dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 28/2014 tentang Pembiayaan Menggunakan Hak Cipta sebagai Fidusia. Untuk hal ini, ia meminta Bank Indonesia mendukung penerapan aturan lewat sosialiasi yang lebih gencar.

Kedua, partner pembiayaan dari luar negeri yang kredibel. Alasan partner dari luar negeri karena mereka memiliki pengalaman yang lebih mumpuni di industri digital kreatif. Ketiga, lending model yang baku sehingga bisa diturunkan ke perbankan.

"Saya enggak bangga pergerakan industri animasi saat ini. Meski banyak tapi kita saat ini hanya jadi tukang. Kenapa? Tidak ada kucuran modal ke industri ini sehingga kita harus cari ke luar. Tawaran yang masuk adalah service, memberikan jasa, tapi hak cipta, brand, mereka yang punya," keluh Ardian.