Sukses

Nikah dengan Teman Sekantor Tak Perlu Resign, Ini Kata Pengusaha

MK memandang pembatasan tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasaan orang lain.

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan mengenai larangan perkawinan sesama pegawai dalam satu kantor yang termaktub dalam Pasal 153 ayat (1) huruf F Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Apakah keputusan ini akan dijalankan perusahaan, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?

Direktur Keuangan (Dirkeu), PT PP Properti Tbk (PPRO), Indaryanto mengaku tetap akan menjalankan kebijakan perusahaan saat ini mengenai aturan perkawinan dengan teman sekantor.

Dengan kata lain, pegawai tidak perlu resign atau keluar saat menikahi teman sekantor, namun akan dibedakan divisinya.

"Boleh (menikah dengan teman sekantor) tapi tempatnya tidak mungkin sekantor, nanti kalau di rumah bertengkar, di kantor bertengkar juga. Jadi kita tetap maintenance," jelas dia usai menghadiri Outlook Ekonomi Pasar Modal 2018 di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Menurut Indaryanto, sumber daya manusia merupakan aset perusahaan sehingga mesti ada solusi aturan untuk menjaga mereka. "Kalau di PP Properti boleh nikah sekantor, tapi nanti suami atau istri di tempatnya di kantor pusat dan kantor proyek," paparnya.

Dengan demikian, suami atau istri nantinya akan ditempatkan di divisi yang berbeda. Yang satu di kantor pusat dan satu lagi dapat bekerja di kantor proyek. Aturan untuk pegawai ini berbeda dengan di induk usaha perusahaan, PT Pembangunan Properti (PP) Tbk.

"Jadi yang satu nanti di kantor pusat dan satu lagi di kantor proyek. Proyek kan biasanya butuh waktu minimal 4-7 tahun. Sementara di PT PP, kebijakannya memang harus keluar salah satunya," jelas Indaryanto.

2 dari 2 halaman

MK: Larangan Pernikahan Sekantor Langgar Konstitusi

Perusahaan kini tak bisa lagi membuat aturan yang melarang karyawannya menikah dengan rekan sekantornya.

Hal ini menyusul dikabulkannya permohonan uji materi Pasal 153 Ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim MK Arief Hidayat dalam persidangan di MK, Kamis (14/12/2017).

Dalam putusannya, MK juga menyatakan frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama" dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," tutur Hakim Arief.

Sebelum putusan MK dalam huruf f diatur "Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama."

MK memandang pembatasan yang termuat dalam pasal tersebut tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasaan orang lain. Sebab, lanjut putusan MK, tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dimaksud.

"Demikian pula tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan," tutur Hakim MK.

Video Terkini