Sukses

Petani Cengkih Minta Kemendag Cabut Aturan Ini

Petani mengaku ‎pihaknya khawatir keberadaan beleid ini akan membuat industri hasil tembakau berkurang.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) meminta pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, untuk mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau. Sebab, aturan ini dinilai berpotensi mempersulit produsen rokok untuk memperoleh bahan baku.

Sekretaris Jenderal APCI I Ketut Budhiman mengaku ‎pihaknya khawatir keberadaan beleid ini akan membuat industri hasil tembakau berkurang, bahkan menghentikan proses produksi lantaran kekurangan bahan baku. Terlebih, Indonesia saat ini masih mengalami defisit tembakau.

"Berhentinya pabrikan berproduksi ini memengaruhi serapan cengkih yang menjadi bahan baku rokok kretek, yang menguasai sekitar 94 persen pangsa pasar rokok di Indonesia," ujar dia di Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Menurut Budhiman, jika pabrik rokok mulai mengurangi bahkan sampai berhenti produksi, diperkirakan akan berdampak pada penurunan jumlah serapan cengkih hingga 50 persen dari total produksi nasional. Hal ini dikhawatirkan akan turut berdampak kepada kehidupan petani cengkih.

"Ini ada sekitar 1,5 juta petani cengkih di seluruh Indonesia," kata dia.

Selain itu, dia juga meminta pemerintah untuk dilibatkan para petani dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan industri hasil tembakau. Sebab, industri ini sangat berkaitan dengan para petani.

"Jangan sampai kebijakan yang diputuskan malah kontra produktif, jika beleid ini dipaksakan bisa berakibat pada target penerimaan negara dari cukai rokok," tandas dia.

2 dari 2 halaman

Pengusaha Tak Sepakat Pembatasan Impor Tembakau

Langkah Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau yang membatasi impor dinilai tidak tepat. Peraturan ini dianggap tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan, yakni Indonesia yang masih defisit pasokan tembakau.

Selama lima tahun terakhir, rata–rata produksi tembakau di dalam negeri selalu di bawah 200 ribu ton per tahun. Sementara, permintaan tembakau berkisar lebih dari 300 ribu ton per tahun.

Tak hanya itu, ada pula beberapa jenis tembakau, seperti Oriental, yang belum dapat tumbuh di Indonesia, tapi sangat diperlukan dalam campuran produksi rokok.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mengatakan, permendag tersebut bukanlah solusi yang tepat.

"Gaprindo berharap bahwa Permendag ini dapat dikaji ulang," kata Moeftie di Jakarta, Selasa (5/12/2017).

Sementara itu, Sekretaris Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi), Suhardjo, mengatakan, peraturan ini telah mengecilkan industri rokok nasional.

Ia beralasan, beberapa jenis tembakau yang dibutuhkan industri memang tidak dapat tumbuh di Indonesia. "Intinya, ini membuat kita semakin tidak nyaman bekerja," kata Suhardjo.

Ia juga mengkritik aturan yang mewajibkan pelaku usaha yang melakukan impor tembakau untuk mengikuti pelaksanaan verifikasi oleh surveyor yang pengenaan biaya dibebankan pada pelaku usaha.

"Ini berarti kita belum bergerak, sudah dikerjain dulu. Jadi kan ini kita jadi tidak bisa kerja," tutur dia.

Pasal tersebut mengamanatkan adanya verifikasi atau penelusuran teknis dari setiap pelaksanaan impor tembakau oleh surveyor yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Biaya atas pelaksanaan verifikasi kemudian dibebankan pada industri.

Tak hanya itu, aturan ini juga mewajibkan pelaku usaha untuk mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian agar dapat mengantongi izin impor dari Kemendag. Padahal, saat ini Kementan belum memiliki petunjuk teknis (juknis) terkait rekomendasi tersebut.

Peraturan yang diteken 2 November 2017 itu bertentangan dengan upaya Presiden Joko Widodo yang gencar melakukan deregulasi-debirokratisasi kebijakan demi kemudahan investasi dan berusaha.

Dengan demikian, alih-alih menjadi solusi bagi kesejahteraan petani, permendag ini justru telah menciptakan permasalahan yang baru.