Sukses

Nikahi Teman Sekantor Bikin Kerja Tak Profesional?

Menikah dengan teman sekantor tak lagi dilarang. Tak hanya itu, karyawan juga tidak perlu resign.

Liputan6.com, Jakarta - Pernikahan pegawai yang berada dalam satu kantor kini diperbolehkan. Hal ini menyusul dikabulkannya gugatan mengenai larangan perkawinan sesama pegawai dalam kantor oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

Meski begitu, banyak pelaku industri yang tidak setuju akan hal ini. CEO Karir.com Dino Martin menilai diberlakukannya aturan ini justru akan membuat urusan semakin ruwet dan mengganggu fokus perusahaan.

"Memang jodoh itu takdir, yah. Tapi bagaimana bisa menjaga profesionalitas kalau ada aturan ini," tutur Dino saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (16/12/2017).

Dino melanjutkan, akan banyak kasus yang nantinya bisa menggoyahkan profesionalitas dan akan berdampak pada kinerja pegawai. Terutama saat kepentingan kantor akan bersinggungan dengan urusan pribadi.

"Misalnya sang istri di Sumber Daya Manusia (HR) dan suami di bagian penjualan atau sales. Lalu sales perform buruk dan suami harus di-PHK. Lalu, yang melakukan, kan, HR? Nah, coba bayangkan sejenak," kata dia.

"Ini bukan masalah hak asasi, sih. Tapi lebih bagaimana kita bisa menjaga profesionalitas. Manusia itu adalah makhluk emosional. Sulit melepaskan emosi dalam kasus di atas," lanjutnya lagi

Saat ditanya mengenai tips untuk tetap bisa produktif meski memiliki pasangan yang bekerja di kantor yang sama, CEO karir.com ini tetap bersikukuh hal itu akan sulit dilakukan. Satu-satunya cara adalah dengan tetap memberlakukan larangan untuk menikahi teman sekantor.

"Tidak akan bisa, misalnya seperti kasus terakhir," pungkasnya.

2 dari 2 halaman

Putusan MK

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan mengenai larangan perkawinan sesama pegawai dalam satu kantor yang termaktub dalam Pasal 153 ayat (1) huruf F Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim MK Arief Hidayat dalam persidangan di MK, Kamis (14/12/2017).

Dalam putusannya, MK juga menyatakan frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama" dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," tutur hakim Arief.

Sebelum putusan MK dalam huruf f diatur "Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama."

MK memandang pembatasan yang termuat dalam pasal tersebut tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasaan orang lain. Sebab, lanjut putusan MK, tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dimaksud.

"Demikian pula tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan," tutur Hakim MK.

Video Terkini