Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) memberikan sejumlah penegasan terkait Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2017. Aturan itu tentang perubahan kedua atas peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2016 tentang dokumen dan pedoman teknis pengisian dokumen dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak.
Ditjen Pajak menyatakan faktur pajak berbentuk elektronik (e-Faktur) wajib mencantumkan informasi identitas pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak termasuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli BKP atau pemerima JKP. Demikian mengutip keterangan tertulis, Senin (18/12/2017).
Baca Juga
Selain itu, dalam hal pembeli BKP atau penerima JKP merupakan Orang Pribadi dan tidak memiliki NPWP, maka identitas pembeli BKP atau penerima JKP tersebut wajib diisi dengan NPWP00.000.000.0-000.000. Kemudian wajib mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) ataunomor Paspor untuk Warga Negara Asing dalam kolom referensi aplikasi e-Faktur.
Advertisement
Ditjen Pajak juga menegaskan, e-Faktur yang diterbitkan bagi pembeli BKP atau penerima JKP yang merupakan Orang Pribadi yang tidak memiliki NPWP sejak 1 Desember 2017 dan tidak mencantumkan Nomor Induk Kependudukan agar segera dilakukan pembetulan untuk menghindari kemungkinan dikenai sanksi.
Khusus bagi Pengusaha Kena Pajak yang merupakan pedagang eceran, tetap menggunakan faktur pajak sederhana sehingga tidak perlu mencantumkan NIK atau nomor paspor pembeli BKP/penerima JKP.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Prosedur Wajib Pajak Lapor Harta Bebas Sanksi 200 Persen
Sebelumnya, sebagai tindak lanjut dari program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor ‎165/PMK.03/2017. PMK ini mengatur soal prosedur perpajakan bagi wajib pajak yang melaporkan harta tersembunyi sebelum aset tersebut ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu.
Direktur Peraturan Perpajakan II DJP, Yunirwansyah mengatakan, prosedur bernama Pengungkapan Aset secara Sukarela dengan Tarif Final (PAS-Final) ini memberikan kesempatan bagi seluruh wajib pajak yang memiliki harta dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2015 maupun Surat Pernyataan Harta (SPH) untuk mendeklarasikan aset tersebut.
Wajib pajak yang secara sukarela melaporkan asetnya akan membayar pajak penghasilan dengan tarif 30 persen untuk wajib pajak orang pribadi dan 25 persen untuk wajib pajak badan. Selain itu, 12,5 persen untuk orang pribadi atau badan tertentu, dengan ketentuan penghasilan usaha atau pekerjaan bebas di bawah Rp 4,8 miliar dan/atau karyawan dengan penghasilan di bawah Rp 632 juta per tahun.
"Jadi bagaimana kalau seandainya wajib pajak mengemukakan sendiri hartanya? Maka di PMK 165 diatur kalau seandainya wajib pajak laporkan hartanya melalui SPT PPh final, tarifnya sama dengan diatur dalam PP, 30 persen untuk orang pribadi, 25 persen untuk badan, dan 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu," ujar dia di Kantor DJP, Jakarta, Senin (27/11/2017).
Menurut Yunirwansyah, karena pengungkapan aset ini dilakukan sendiri wajib pajak sebelum aset tersebut ditemukan oleh DJP, maka ketentuan sanksi dalam Pasal 18 UU Pengampunan Pajak tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan prosedur PAS-Final. Aset yang dapat diungkapkan adalah aset yang diperoleh wajib pajak sampai dengan 31 Desember 2015 dan masih dimiliki pada saat tersebut.‎
Prosedur PAS-Final dapat dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Final, dilampiri dengan Surat Setoran Pajak dengan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 422, ke KPP tempat wajib pajak terdaftar.
Prosedur PAS-Final ini hanya dapat dimanfaatkan selama DJP belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Pajak sehubungan dengan ditemukannya data aset yang belum diungkapkan.
Saat ini DJP telah diberikan kewenangan sesuai UU Nomor 9 Tahun 2017 untuk mengakses data keuangan yang dimiliki lembaga keuangan seperti perbankan dan pasar modal. Selanjutnya mulai 2018, lembaga keuangan akan secara rutin memberikan data keuangan kepada DJP, termasuk data keuangan dari 100 negara lain yang telah sepakat bertukar informasi keuangan dalam rangka memerangi pelarian pajak lintas negara.
‎Oleh karena itu DJP mengimbau semua wajib pajak baik yang belum dan terlebih khusus yang sudah ikut Amnesti Pajak dan masih memiliki aset tersembunyi untuk segera memanfaatkan prosedur PAS-Final sebagaimana diatur dalam PMK-165 ini sebelum DJP menemukan data aset tersembunyi tersebut.
Sebelumnya, DJP menegaskan tidak ada pengampunan pajak jilid II pada tahun ini. Revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2016 dipastikan hanya menghilangkan sanksi bagi wajib pajak (WP) yang sudah ikut tax amnesty maupun yang belum berpartisipasi.
"Tidak ada pengampunan pajak jilid II," tegas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama saat dihubungi Liputan6.com.
Salah satunya menyangkut penghapusan sanksi 200 persen bagi peserta tax amnesty dan 2 persen kali maksimal 24 bulan untuk yang tidak ikut tax amnesty.
Itu artinya, Hestu Yoga memastikan, WP yang sudah ikut tax amnesty dapat dibebaskan dari denda 200 persen dalam Pasal 18 UU Pengampunan Pajak, begitu pula dengan sanksi 2 persen kali maksimal 24 bulan untuk WP yang tidak ikut tax amnesty.
"Jadi tidak dikenakan sanksi Pasal 18 buat yang ikut tax amnesty denda 200 persen, dan yang tidak ikut tax amnesty 2 persen kali maksimal 24 bulan," dia memaparkan.
Syaratnya, kata dia, WP secara sukarela mendeklarasikan harta yang belum diungkap dalam program tax amnesty maupun harta yang belum diikutkan dalam SPT masa PPh. "Syarat lainnya belum diterbitkan surat perintah pemeriksaan pajak atau kita belum lakukan pemeriksaan," jelas Hestu Yoga.
Advertisement