Liputan6.com, Jakarta Indonesia akan menghadapi babak baru terkait kebijakan kemasan polos rokok tanpa merek (plain packaging), tepatnya pada Februari 2018.
Ini saat Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO) mengumumkan hasil sengketa dagang Australia dengan pemerintah Indonesia bersama Honduras, Republik Dominika, dan Kuba.
Sebelumnya, berdasarkan pemberitaan terkait hasil laporan sementara yang tidak resmi dari WTO terhadap keputusan sengketa dagang tersebut, Indonesia dinyatakan kalah.
Advertisement
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mengatakan, jika pernyataan tersebut benar adanya, Indonesia akan mendapatkan ancaman serius terutama pada ekspor produk tembakau.
Baca Juga
“Gaprindo akan mendukung upaya banding pemerintah Indonesia di WTO jika dinyatakan kalah dalam sengketa dagang kebijakan plain packaging terhadap Australia,” jelas Moeftie di Jakarta, Selasa (19/12/2017).
Dia mengaku, selain kekhawatiran mengenai ekspor produk tembakau, pengusaha juga melihat bahwa kebijakan kemasan polos dapat mencederai hak kekayaan intelektual dan melenyapkan fungsi merek dagang.
Selain itu, hal itu memiliki dampak sistemik terhadap regulasi produk ekspor strategis nasional lainnya yang memiliki profil risiko seperti aneka produk makanan dan kelapa sawit.
Sementara Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, Indonesia pasti akan mengajukan banding jika dinyatakan kalah pada laporan akhir oleh WTO appellate body.
“Kita akan naik banding jika kalah, meskipun hanya kalah satu dari 12 sampai 13 klaim, karena kebijakan plain packaging itu tidak benar, baik dalam konteks produk tembakau maupun dalam komitmen perdagangan global,” jelas Iman.
Kebijakan kemasan polos bertujuan demi mengurangi dorongan calon perokok untuk membeli atau mengonsumsi rokok. Hal ini pertama kali diterapkan di Australia terhadap seluruh produk tembakau pada 2012 dan disusul oleh Prancis dan Inggris pada 2016.
Hingga saat ini, sejumlah negara lain, seperti Irlandia, Norwegia, Hongaria, Slovenia, Swedia, Finlandia, Kanada, Selandia Baru, Singapura, Belgia, dan Afrika Selatan juga sedang mempertimbangkan kebijakan tersebut.
Selain itu, kebijakan kemasan polos dianggap telah melanggar beberapa pasal. Ini di antaranya adalah pasal 20 yang menyatakan bahwa anggota WTO tidak diperbolehkan untuk menerapkan persyaratan khusus yang secara tidak dibenarkan akan mempersulit penggunaan merek dagang.
Kemudian pasal 2.2 dari Trade Barrier to Trade (TBT) Agreement WTO yang menyatakan anggota WTO berkewajiban untuk memastikan bahwa peraturan teknis yang diterapkan tidak menghambat perdagangan lebih daripada yang diperlukan.
Kebijakan kemasan polos mengatur secara rinci penampilan kemasan untuk produk tembakau, dari segi ukuran, bentuk, fitur fisik, dan warna.
Para produsen produk tembakau tidak diperbolehkan untuk menampilkan merek, logo, simbol, maupun fitur desain lainnya pada kemasan, termasuk merek dagang.
Satu-satunya pengecualian adalah untuk penulisan nama merek dan varian, meskipun harus disajikan dalam bentuk khusus yang seragam.
Petisi Petani
Sebelumnya, para petani tembakau dan cengkih Indonesia menyampaikan petisi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melindungi penghidupan mereka dari tekanan peraturan internasional seperti Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Selain itu, para petani ini juga dengan tegas menolak salah satu ketentuan FCTC, yaitu kebijakan kemasan polos rokok yang tidak memperbolehkan pencantuman merek atau yang lebih dikenal dengan istilah plain packaging.
”Kami sangat sedih mengetahui bahwa kebijakan kemasan polos tanpa merek semakin melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di pasar internasional, sebab akan mengakibatkan penurunan permintaan bahan baku tembakau dari jutaan petani yang menggantungkan penghidupannya pada komoditas tersebut,” ungkap Ketua Umum APTI Soeseno.
Dia mengungkapkan, pada 2015, nilai devisa yang dihasilkan dari surplus ekspor produk tembakau Indonesia telah mencapai US$ 524 juta. Nilai tersebut dapat dicapai mengingat Indonesia saat ini merupakan negara produsen sekaligus eksportir produk tembakau pabrikan kedua terbesar di dunia setelah Uni Eropa.
"Bertambahnya permintaan bahan baku dari pabrikan sangat berarti bagi petani tembakau dan cengkeh di Indonesia dalam menjaga kelangsungan mata pencarian," tandas dia.
Advertisement