Sukses

Sepanjang 2017, PPATK Temukan Dana Pencucian Uang Rp 747 Triliun

PPATK telah melakukan pemeriksaan terhadap 228 rekening pihak terlapor yang tersebar di sejumlah Penyedia Jasa Keuangan.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan, sepanjang 2017 terjadi potensi tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai mencapai Rp 747 triliun. TPPU ini diduga dilakukan oleh oknum dari berbagai profesi mulai dari gubernur hingga kepala Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).

‎Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin ‎mengatakan, sepanjang 2017, jumlah Informasi Hasil Pemeriksaan dan Laporan ‎Hasil Pemeriksaan (IHP/LHP) sebanyak 20 laporan atau informasi.

Semuanya telah disampaikan kepada aparat penegak hukum yang terdiri atas KPK sebanyak 11 laporan, Polri tiga laporan, Direktorat Jenderal Pajak dua laporan. Kemudian Direktorat Jenderal ‎Bea dan Cukai dua laporan, dan TNI, BNN, serta Kejaksaan masing-masing sebanyak satu Laporan.

"LHP/IHP dimaksud adalah output kegiatan pemeriksaan yang dilakukan pada akhir 2016 sampai dengan akhir 2017 terhadap 19 pihak terlapor," ujar dia di Kantor PPATK, Jakarta, Selasa (19/12/2017).

Kemudian, PPATK juga telah melakukan pemeriksaan dilakukan terhadap 228 rekening pihak terlapor yang tersebar di sejumlah Penyedia Jasa Keuangan Bank dan Non Bank. Rekening ini tersebar di berbagai lokasi di Gresik, Magetan, Madiun, Surabaya, Mataram, Pontianak, Bandung, Kendari, Purwakarta, Kawang, Sumbawa Barat, Mataram, dan Banjarmasin.

"Ke-19 pihak terlapor berprofesi sebagai Gubernur, Bupati, Kepala Bappeda, aparat penegak hukum, pegawai negeri sipil (PNS), pengusaha (pihak swasta), pejabat lelang, dan Kepala RSUD," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Modus yang dilakukan

Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap transaksi keuangan, PPAT mengungkap, ada total dana dengan nominal mencapai Rp 747 triliun di 228 rekening pihak terlapor dan pihak terkait. Diduga 19 pihak tersebut melakukan TPPU dengan tindak pidana asal korupsi, narkoba, judi online, kepabeanan, illegal logging, dan tindak pidana perpajakan.

Dia menjelaskan, ada beberapa modus yang digunakan antara lain penggunaan rekening atas nama orang lain atau nominee untuk menampung dana masuk yang terindikasi korupsi, menggunakan banyak rekening atau nama untuk menampung dana dan mengirimkan ke pihak aparat penegak hukum.

Kemudian dengan modus penjualan kain kepada pedagang lokal untuk membayar cicilan mesin, lelang yang hanya diikuti 1 (satu) peserta dengan harga penilaian aset rendah, melalui transaksi tunai, pemberian kredit fiktif, penggunaan rekening pribadi untuk kegiatan usaha, penggelembungan harga (markup) dalam proses pengadaan barang dan jasa.

"Juga transaksi pass by dan via internet banking, mendirikan beberapa perusahaan legal namun aktivitas usahanya tidak ada, menggunakan invoice fiktif, dan penggunaan biaya management fee dan success fee untuk menggelapkan dana perusahaan," tandas dia.