Sukses

Tarif Cukai Kantong Kresek Ukuran Besar Bakal Lebih Mahal

Cukai kresek akan dikenakan kepada produsen.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan terus mendorong pengenaan cukai pada kantong plastik di tahun depan. Target penerimaan negara dari setoran cukai kantong kresek dipatok Rp 500 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC, Marizi Z Sitohang atau yang akrab disapa Uchok mengakui bahwa ada penurunan target penerimaan dari cukai plastik dari Rp 1,6 triliun di tahun ini menjadi Rp 500 miliar pada tahun depan.

"Isunya itu kan pengenaan cukai pada plastik kemasan berisi minuman, makanya target (penerimaan) tinggi. Tapi sekarang bergeser ke kantong plastik karena di beberapa daerah kan sudah menerapkan kantong plastik berbayar," ujarnya di Kudus, seperti ditulis Rabu (20/12/2017).

Lebih jauh Marizi menambahkan, DJBC masih menghitung besaran tarif pungutan cukai untuk kantong kresek bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu. Termasuk membahas mengenai penetapan tarif berdasarkan ukuran atau berat kantong.

"Lagi dihitung tarif bersama BKF. Tapi apakah per gram atau per kantong. Kan ada kantong sampah lebih berat, kalau ukuran besar dan kecil kantong tarifnya disamakan, tidak adil. Sehingga kita akan menetapkan (tarif) per gram," jelas Marizi.

Marizi mengatakan, pengenaan cukai sejatinya dibebankan pada konsumen. Akan tetapi, sambungnya, pada tahap awal, cukai kresek akan dikenakan kepada produsen. Hanya saja dengan melakukan penundaan pembayaran ke pemerintah.

"Kan dia tunggu terjual dulu. Ketika dia dapat (uang dari hasil penjualan kantong), baru dibayar," ujarnya.

Dirinya berharap, DPR dapat menyetujui penarikan cukai kantong kresek di 2018. Dengan demikian, penambahan barang kena cukai tersebut dapat menyumbang penerimaan negara sekitar Rp 500 miliar di 2018.

"Kalau sudah diketok DPR, harapannya bisa segera implementasi karena walaupun nyari Rp 500 miliar, kan tidak mudah. Akan ada pembahasan cukai kantong plastik di bulan-bulan ini oleh Komisi XI DPR. Begitu DPR setuju, langsung teken Peraturan Pemerintah (PP)," tandas Marizi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Minuman Berpemanis

Tak hanya plastik, pemerintah juga mewacanakan untuk mengenakan cukai dari produk-produk minuman yang berbahan baku pemanis atau berkarbonasi.

Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menjelaskan, pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis ini bertujuan mengurangi konsumsi masyarakat terhadap bahan baku tersebut yang menjadi penyebab banyaknya penyakit seperti gula dan obesitas.

"Untuk itu kita melihat bahwa salah satu cara mengendalikannya adalah jangan sampai konsumsi zat-zat minuman berpemanis itu berlebihan. Makanya harus kita kendalikan," jelas Heru di Kompleks Kementerian Keuangan, Jumat (27/10/2017).

Hanya saja rencana ini masih dalam wacana. Untuk mewujudkannya, masih memerlukan berbagai mediasi dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti salah satunya para pelaku industri minuman itu sendiri.

"Faktornya itu harus ada 4 yang kita pertimbangkan. Pokonya kita tidak bisa gegabah," tegas dia.

Empat faktor yang dimaksud oleh Heru adalah Pertama, pertimbangan dari sisi kesehatan. Kedua, industri makanan dam minuman. Ketiga adalah tenaga kerja, dan ke empat dari sisi penerimaan negara.

 

3 dari 3 halaman

Usulan

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo pernah mengusulkan agar pemerintah mengenakan cukai untuk minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak (BBM). Usulan pungutan cukai atas tiga objek baru ini akan meningkatkan penerimaan negara dengan kontribusi hingga Rp 169 triliun.

Khusus untui minuman berpemanis, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), minuman ringan berpemanis berpotensi memicu obesitas. Hal ini sesuai dengan Undang-undang (UU) Cukai, bahwa cukai dikenakan untuk mengendalikan konsumsi karena berakibat buruk ke kesehatan, dan lainnya.

"Cukai bisa jadi instrumennya dan optimasi penerimaan negara karena dari data WHO, penyebab utama kematian adalah diabetes. Ada 47 juta orang Indonesia menderita obesitas yang berisiko menimbulkan penyakit jantung, pengeroposan tulang, dan sebagainya," terang dia.  Â