Liputan6.com, Jakarta - Daya beli masyarakat yang turun menghantui perekonomian Indonesia belakangan ini. Kondisi tersebut berdampak pada penutupan sejumlah gerai ritel. Namun sebagian kalangan menyebut penutupan ritel diakibatkan peralihan budaya belanja dari konvensional menjadi online.
Direktur Investor Relation & Chief Economist PT Bahana TWC Investment Management Budi Hikmat mengatakan, berdasarkan data historis daya beli yang digunakannya menunjukkan selama 2017 daya beli masih tumbuh positif. Dimulai dengan angka sekitar 13 persen pada awal tahun, lalu per Agustus 2017 mencapai 8,12 persen.
"Dengan angka ini, saya ingin meyakinkan yang kita hadapi bukan depresi," kata Budi, dalam dalam catatan akhir 2017 PT Bahana TWC Investment Management, di Jakarta, Sabtu (23/12/2017).
Advertisement
Baca Juga
Namun, berbagai indikator bisnis mulai dari penjualan ritel, kendaraan bermotor, dan semen mengalami penurunan. Termasuk melambatnya penyaluran kredit hingga lebih rendah dari acuan normatif pertumbuhan PDB nominal.
"Angka penyaluran kredit sepanjang tahun berjalan hanya berkisar 2 persen, jadi sangat lemah," ujar dia.
Dia menilai hal di atas terkait dengan tiga hal. Pertama, dampak kebijakan fiskal terutama terkait dengan pemangkasan subsidi membuat kenaikan administered price tertinggi, dalam empat tahun terakhir.
Angka kumulatif inflasi tersebut per September 2017 mencapai 7,5 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari headline inflation 2,66 persen, core inflation 2,5 persen, dan tentunya volatile food yang mengalami deflasi 1,56 persen.
Sejak awal tahun, masyarakat terkejut dengan kenaikan pesat biaya pengurusan STNK, tarif listrik, gas, hingga tarif tol. Umumnya administered goods yang dikendalikan negara ini memiliki substitusi yang terbatas, sehingga dengan kenaikan yang demikian tinggi memaksa masyarakat mengurangi atau menunda belanja yang lain.
Dampak kebijakan fiskal yang lain berupa kecemasan pemungutan pajak, yang lebih memengaruhi masyarakat kelompok ekonomi teratas.
Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menjelaskan aktivitas belanja masyarakat desil ketiga terbawah cenderung naik yang ditopang oleh program cash transfer pemerintah, sementara masyarakat desil tengah cenderung mendatar. Namun, desil teratas cenderung mengurangi belanja dan meningkatkan penempatan dalam bentuk deposito.
"Perilaku kelompok teratas itu berisiko memperburuk situasi sebab memperlemah trickle down effect," tutur dia.
Namun faktor internal yang kerap diangkat adalah perubahan pola belanja masyarakat ke toko online yang melandasi perusahaan seperti Matahari dan Ramayana menutup sebagian gerai.
Dia menilai fenomena penutupan gerai hanya konsekuensi disruptive innovation yang memangkas peran intermediasi. Lantaran seharusnya perusahaan atau emiten yang berisiko sudah melakukan antisipasi.
"Saya sangat berharap pemerintah memacu produksi dalam negeri khususnya melalui usaha kecil dan menengah untuk memanfaatkan puber digital online shopping ini. Jangan sampai hanya dipenuhi oleh barang-barang impor," ungkapnya.
Masih terkait polemik penurunan daya beli, BKF juga menunjukkan pengaruh perubahan gaya hidup menuju masyarakat perkotaan. Pembelian terhadap pakaian dan elektronik cenderung menurun, tetapi pengeluaran untuk transportasi, komunikasi, hotel, dan makan di luar rumah cenderung meningkat.
"Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pengeluaran rumah tangga untuk hotel dan restoran selama triwulan kedua 2017 bertumbuh 5,87 persen dalam setahun silam. Angka ini terbilang tinggi, sementara dalam periode yang sama untuk pakaian dan alas kaki hanya 3,47 persen," tutur Budi.
Dari faktor eksternal yang menurunkan daya beli, menurut Budi terkait kejatuhan berbagai harga komoditas selama semester I 2017 usai melesat pada semester II 2016.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pembangunan Infrastruktur Cara Tepat Perkuat Daya Beli Masyarakat?
Lalu melihat kondisi itu, apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk menaikkan daya beli masyarakat?
Budi menuturkan, pembangunan infrastruktur terbilang masif bahkan data menunjukkan selama 2015 hingga 2017, melebihi 10 tahun pekerjaan administrasi pemerintah sebelumnya.
Namun berbagai proyek infrastruktur yang dibangun antara lain jalan tol, jembatan, flyover, hingga listrik ternyata lebih padat modal dan kurang serap tenaga kerja.
Data BPS menunjukkan beberapa tahun terakhir terjadi penurunan pekerja di sektor konstruksi di tengah peningkatan peran sektor ini dalam perekonomian.
Proyek infrastruktur tentu sangat penting untuk menurunkan biaya logistik yang menjadi penyebab kurang kompetitifnya ekspor Indonesia.
Budi menuturkan, manfaat proyek ini akan dirasakan ketika kegiatan produksi dalam negeri dan distribusinya dapat dipacu.
"Kita perlu merenungkan terus terjadinya defisit neraca berjalan walau ekonomi telah melambat jelas menunjukkan ekonomi kita kurang produktif dan kompetitif. Pernah saya sampaikan bahwa untuk culture dan nature boleh dibilang terdepan dibanding banyak negara, tetapi lack of accesibility menyebabkan potensi pariwisata belum sepenuhnya tergarap," jelas dia.
Ia menambahkan, seperti diakui oleh Bank Dunia dalam laporan terakhir untuk Indonesia, berbagaiproyek infrastruktur memerlukan waktu untuk memberikan hasil. Mereka menyarankan Indonesiatetap konsisten memacu infrastruktur dan memecahkan kekurangan pembiayaan (funding gap).
Pemerintah menyadari hal ini. Itu sebabnya alokasi subsidi dalam RAPBN 2018 ditingkatkan,sehingga inflasi administered price hingga akhir tahun 2017 dan selama tahun 2018 relatif rendah.
"Saya sarankan kita memahami tantangan yang dihadapi pemerintah sangat berat. Maunya pro-growth (dengan percepatan infrastuktur), pro-poor (untuk mengurangi ketimpangan kemakmuran), tetapi tetap menjaga fiscal sustainability di tengah keterbatasan likuiditas untuk pembiayaan," kata dia.
Adapun dengan penurunan harga komoditas, harus diakui kebijakan fiskal memang cenderung berpihak kepada investor obligasi. Inflasi yang lebih rendah dan kurs rupiah relatif stabilterus mengundang arus masuk investor asing hingga mencapai angka tertinggi.
"Saya meyakini perbaikan infrastuktur tidak hanya akan meningkatkan potensi pertumbuhan, tetapi juga penurunan inflasi yang lebih permanen. Jadi ini sebetulnya kabar baik untuk investoraset saham maupun obligasi," kata dia.
Budi menuturkan, yield SUN bertenor 10 tahun yang saat ini berkisar 6,5 persen sebetulnya sudah lebih tinggi dari historical inflation untuk tiga, lima, tujuh, dan 10 tahun terakhir.
"Bayangkan bila inflasi Indonesia di masa yang akan datang hanya berkisar tiga persen, strategi long duration masih terbuka untuk memberikan cuan," kata dia.
Advertisement