Liputan6.com, New York - Harga minyak menguat dua persen ke level tertinggi dalam 2,5 tahun. Penguatan harga minyak didorong data ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan Jerman yang memacu aksi beli. Ditambah kerusuhan masih berlanjut di Iran.
Para pengawal revolusi elit Iran telah mengerahkan pasukan ke tiga provinsi untuk hentikan kerusuhan anti pemerintah. Sentimen kerusuhan di Iran dongkrak harga minyak.
Harga minyak AS atau West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 1,23 atau 2,1 persen ke posisi US$ 61,62 per barel. Level itu tertinggi sejak Juni 2015.
Advertisement
Baca Juga
Harga minyak Brent naik US$ 1,13 atau 1,7 persen menjadi US$ 67,71 per barel usai sentuh level tertinggi sejak Mei 2015 di kisaran US$ 67,84 per barel.
"Ketegangan Iran tentu saja merupakan faktor, data ekonomi yang sangat kuat juga memaksa reli," ujar John Kiduff, Partner Again Capital LLC, seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (4/1/2018).
Harga minyak AS juga menguat mendapat dorongan dari cuaca dingin di Pantai Timur. Hal itu menarik sejumlah kapal tanker yang membawa minyak membalikkan rute perdagangan tradisional.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Selanjutnya: Rilis Data Ekonomi Jadi Katalis Positif
Rilis data ekonomi juga jadi katalis positif untuk harga minyak. Tingkat pengangguran mencapai rekor terendah pada Desember di Jerman. Ini merupakan dasar dari penguatan ekonomi. Selain itu, aktivitas pabrik AS juga meningkat melebihi yang diperkirakan.
Laporan manufaktur dan konstruksi memicu ekspektasi ekonomi AS yang kuat pada 2018. Sentimen itu juga mendorong wall street menguat.
Ole Hanson, Kepala Analis Saxo Bank Denmark mengingatkan banyak gangguan sementara mulai dari jaringan pipa North Sea Forties dan Libya yang tutup serta protes di Iran meningkatkan taruhan spekulatif yang panjang untuk harga minyak.
Dengan proses perbaikan pipa dan demonstrasi di Iran tidak menunjukkan tanda-tanda pengaruhi produksi minyak.
Advertisement