Liputan6.com, Chicago - Harga emas menguat dalam sesi kesembilan berturut-turut hingga sentuh posisi tertinggi sejak pertengahan September. Hal itu didukung permintaan untuk logam mulia sehingga bikin harga emas menguat di tengah dolar Amerika Serikat (AS) perkasa.
Meski demikian, harga emas sempat melemah usai rilis data hasil rapat bank sentral AS atau the Federal Reserve.
Harga emas untuk pengiriman Februari naik US$ 2,4 atau 0,2 persen ke posisi US$ 1.318,50 per ounce. Harga emas berjangka itu catatkan posisi tertinggi sejak 15 September.
Advertisement
Baca Juga
Dalam perdagangan elektronik, harga emas sempat melemah ke posisi US$ 1.310,10 usai bank sentral AS rilis hasil rapat. Dari hasil rapat itu menunjukkan ada perbedaan pandangan pejabat bank sentral AS mengenai perkiraan kenaikan suku bunga pada 2018.
"Pernyataan cenderung kurang agresif mendorong investor merealisasikan keuntungan," ujar Brien Lundin, Editor Gold Newsletter, seperti dikutip dari laman Marketwatch, Kamis (4/1/2018).
Sementara itu, indeks dolar AS sedikit berubah usai rilis hasil rapat bank sentral AS.Harapan suku bunga AS lebih tinggi dan reformasi pajak gagal mengangkat indeks dolar AS menguat lebih tajam. Ini membuat pergerakan harga emas. Sebagian pelaku usaha mempertanyakan seberapa besar dampak reformasi pajak untuk dorong ekonomi.
Sementara itu, ketidakpastian geopolitik juga membantu menopang pergerakan harga emas. Di Iran, demonstran antipemerintah turun ke jalan di kota-kota seluruh negeri selama seminggu terakhir. Mereka mengungkap kesengsaraan ekonomi negara tersebut.
Ketidakpastian geopolitik mendorong harga emas. Selain itu, harga minyak juga menguat imbas dari sentimen geopolitik.
Dari AS, data ekonomi AS menunjukkan indeks manufaktur naik menjadi 59,7 persen pada Desember. Harga logam mulia lainnta antara lain, harga tembaga turun 0,6 persen menjadi US$ 3.258 per pound. Sedangkan harga perak menguat 0,4 persen menjadi US$ 17.267 per ounce.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Harga Minyak Ikut Menguat
Harga minyak menguat dua persen ke level tertinggi dalam 2,5 tahun. Penguatan harga minyak didorong data ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan Jerman yang memacu aksi beli. Ditambah kerusuhan masih berlanjut di Iran.
Para pengawal revolusi elit Iran telah mengerahkan pasukan ke tiga provinsi untuk hentikan kerusuhan anti pemerintah. Sentimen kerusuhan di Iran dongkrak harga minyak.
Harga minyak AS atau West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 1,23 atau 2,1 persen ke posisi US$ 61,62 per barel. Level itu tertinggi sejak Juni 2015.
Harga minyak Brent naik US$ 1,13 atau 1,7 persen menjadi US$ 67,71 per barel usai sentuh level tertinggi sejak Mei 2015 di kisaran US$ 67,84 per barel.
"Ketegangan Iran tentu saja merupakan faktor, data ekonomi yang sangat kuat juga memaksa reli," ujar John Kiduff, Partner Again Capital LLC, seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (4/1/2018).
Harga minyak AS juga menguat mendapat dorongan dari cuaca dingin di Pantai Timur. Hal itu menarik sejumlah kapal tanker yang membawa minyak membalikkan rute perdagangan tradisional.
Rilis data ekonomi juga jadi katalis positif untuk harga minyak. Tingkat pengangguran mencapai rekor terendah pada Desember di Jerman. Ini merupakan dasar dari penguatan ekonomi. Selain itu, aktivitas pabrik AS juga meningkat melebihi yang diperkirakan.
Laporan manufaktur dan konstruksi memicu ekspektasi ekonomi AS yang kuat pada 2018. Sentimen itu juga mendorong wall street menguat.
Ole Hanson, Kepala Analis Saxo Bank Denmark mengingatkan banyak gangguan sementara mulai dari jaringan pipa North Sea Forties dan Libya yang tutup serta protes di Iran meningkatkan taruhan spekulatif yang panjang untuk harga minyak.
Dengan proses perbaikan pipa dan demonstrasi di Iran tidak menunjukkan tanda-tanda pengaruhi produksi minyak.
Advertisement