Sukses

Bos BPJS Kesehatan: Tidak Ada Kenaikan Iuran Tahun Ini

Berdasarkan laporan dari BPJS Kesehatan, tunggakan iuran jaminan kesehatan daerah mencapai sekitar Rp 1,3 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Meski diperkirakan mengalami defisit Rp 9 triliun, namun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memastikan tidak akan ada kenaikan tarif iuran premi pada 2018. Pemerintah telah memiliki skenario untuk menambal tekor tersebut, salah satunya dari pajak rokok.

"Kenaikan tarif jelas tidak ada untuk tahun ini," tegas Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (9/1/2018).

Sayangnya, Fahmi tidak menjelaskan secara lebih detail mengenai alasan tidak adanya kenaikan tarif iuran walaupun mengalami defisit Rp 9 triliun. "Belum dibicarakan, jadi saya belum tahu," paparnya.

Sekadar informasi, besaran iuran bagi peserta mandiri untuk kelas 1 dipatok sebesar Rp 80 ribu per orang per bulan. Kelas 2 sebesar Rp 51 ribu per orang per bulan, iuran kelas 3 sebesar Rp 25,5 ribu per orang per bulan.

Sementara bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang disubsidi pemerintah dibebankan sebesar Rp 19.225 per orang per bulan.

Dalam rangka menambal defisit BPJS Kesehatan tersebut, pemerintah telah menyiapkan sumber dana, yakni dari pemotongan jatah Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH) pemerintah daerah yang memiliki tunggakan iuran jaminan kesehatan dan mengambil bagian dari pajak rokok.

Implementasinya akan mulai dijalankan tahun ini. "Pemotongan DAU atau DBH akan dieksekusi di 2018," kata Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, Putut Hari Satyaka saat dihubungi Liputan6.com.

Tata cara pemotongan DAU atau DBH untuk pemerintah daerah (pemda) yang mempunyai tunggakan iuran jaminan kesehatan ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183/PMK.07/2017.

Putut menjelaskan, berdasarkan laporan dari BPJS Kesehatan, tunggakan iuran jaminan kesehatan daerah mencapai sekitar Rp 1,3 triliun. Menurutnya, setiap daerah memiliki besaran tunggakan iuran yang berbeda, sehingga untuk menjalankan pemotongan DAU atau DBH harus menunggu laporan dari BPJS Kesehatan.

"Pemotongan DAU atau DBH itu berdasarkan besarnya tunggakan di daerah yang akan lebih dulu dilakukan rekonsiliasi antara BPJS dan pemda yang punya tunggakan," terangnya.

Lebih jauh dia menambahkan, selanjutnya, jika sudah disepakati besarnya tunggakan iuran jaminan kesehatan, barulah diajukan oleh BPJS Kesehatan kepada Kementerian Keuangan untuk segera dilakukan pemotongan dari DAK atau DBH.

"Jadi besarnya pemotongan tidak bisa digeneralisir sama per daerah, tergantung pada besarnya tunggakan," Putut menuturkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Pajak Rokok

Selain dari pemotongan DAU atau DBH pemda, Putut berujar, sumber dana untuk menutup tekor BPJS Kesehatan berasal dari pajak rokok sekitar Rp 5,1 triliun.

"Untuk detail teknisnya, saat ini masih sedang disusun payung hukumnya," ungkapnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Boediarso Teguh Widodo menerangkan, DJPK akan menjalankan fungsinya untuk membantu BPJS Kesehatan dengan dua langkah.

Pertama, penyelesaian tunggakan kewajiban pemda kepada BPJS Kesehatan melalui pemotongan DAU atau DBH setelah dilakukan rekonsiliasi. Kedua, penyelesaian PMK tentang pengaturan pengalokasian 50 persen dari penerimaan pajak rokok yang diterima daerah untuk kesehatan.

"Dari 50 persen penerimaan pajak rokok, 75 persen di antaranya digunakan untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional. Di mana di 2018, dana tersebut diperkirakan sebesar Rp 5,1 triliun," jelas Boediarso.

  • BPJS Kesehatan merupakan salah satu badan hukum yang bertugas menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.

    BPJS Kesehatan